Rabu, 28 Maret 2012

Belajar Dari Asiyah dan Suneti


           
Belajar Dari Asiyah dan Suneti
(Kisah bayi-bayi malang dari Pandeglang)
Siang kemarin Rabu (28/3) sungguh hari kelabu bagi saya dan suami. Bukan karena sudah akhir bulan dan kondisi kantong sedang kempis :p, namun karena kami lagi-lagi “terpaksa” menahan perih di hati, dan sesak di dada melihat kondisi masyarakat yang dipaksa hidup dan kekurangan. Hati ini makin perih lantaran kami berdua merasa tak bisa berbuat apa-apa selain mewartakan peristiwa tersebut. Kami bagaimanapun tetap manusia yang punya rasa yang bisa merasa pilu saat melihat kondisi yang menurut kami tak seharusnya terjadi bila sistem pemerintahan di republik ini berjalan baik, dalam artian semua bagian dari bagian terkecil hingga terbesar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
            Coba kawan semua bayangkan, siang itu suami saya, sambil masih berkeringat menunjukkan foto seorang bayi yang ia rekam di kamera saku digitalnya. Dengan hati-hati, ia mulai dengan menunjukkan wajah si bayi. Serta merta saya yang juga ibu dua anak yang dua-duanya masih bayi (2 tahun, dan 7 bulan) tentu merasa senang karena bayi dalam foto itu memiliki wajah yang manis. Rambutnya lebat dan pipinya lumayan montok. Normal dan masih memiliki aura malaikat lah layaknya bayi-bayi baru lahir lainnya.
            Namun kesenangan saya berubah jadi nestapa saat suami mulai menggeser tombol down di kameranya, saya kaget melihat bayi itu ternyata tak memiliki tangan dan kaki. Makin kaget ketika suami berkata dengan pelan bahwa bayi itu juga tak memiliki anus. Tak heran bila perutnya terlihat menggelembung.
            “Kalau dipegang keras, soalnya sejak lahir pada Selasa (27/3) sekitar pukul 11.00 WIB, bayi itu belum pups soalnya nggak ada anusnya, ” kata suami saya sambil menambahkan bayi lelaki Asiyah lahir dengan berat badan 3 kilogram dan panjang 35 centimeter lantaran tak memiliki kaki.
                                                               

Bayi yang belum diberi nama itu, menurut suami saya lahir sebagai anak ketiga dari pasangan Asiyah (32) dan Pasaoran Silalahi yang tinggal di Kampung Rancaluluk RT 03 RW 02 Desa Perdana Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Keluarga kecil itu hidup di rumah semi permanen dengan atap rumbia. Ukuran rumahnya hanya 4x6 meter dindingnya bilik bambu, dan tanpa kamar mandi. Hanya ada satu kamar, dapur yang menyambung ke ruang tamu (kalau bisa disebut begitu karena di ruangan itu ). Lantai rumahnya hanya tanah sehingga saat hujan suasana lembab langsung tercipta. Tak hanya itu, keluarga itu juga langganan jadi korban banjir karena letaknya tak jauh dari anak sungai Ciliman. Kondisi itu diperparah dengan tidak hadirnya si ayah yang terpaksa harus mengembara ke Riau untuk menjadi buruh kasar di perkebunan sawit walaupun dengan gaji yang tak seberapa. Makanya ibu si bayi, Asiyah harus berjibaku mengurus dua anaknya, sekaligus memberi makanan (seadanya) karena ia hanya seorang buruh tani. Bila beruntung ada yang memberinya pekerjaan, untuk kerja selama 8 jam, ibu tiga anak itu mendapatkan upah paling banyak Rp 15 ribu. Upah kecil itu ia dapat setelah berjam-jam terbenam di lumpur sawah untuk membersihkan rumput di sela-sela padi atau dikenal dengan nyasab. Pekerjaan berat itu, masih berlanjut lantaran ketika pulang, ia harus mengurus dua anaknya yang masing-masing berusia 7 tahun dan 5 tahun.
Kerja berat ini, terus menerus ia lakukan hingga usia kandungannya 9 bulan. Asiyah mengaku tak pernah USG bahkan tak tahu apa yang namanya USG. Ia bahkan jarang memeriksakan kehamilannya lantaran merasa tak ada keluhan selama hamil. Yang pasti, daripada untuk memeriksakan kandungan ke puskesmas Perdana yang jaraknya hanya satu kilo, Asiyah mengaku lebih baik uangnya ia pakai untuk membeli beras yang satu liternya untuk kualitas terburuk sudah mencapai Rp 5.500 per liter. Maklum, setiap masyarakat yang berobat ke Puskesmas dikenai biaya Rp 4 ribu. Bila ditambah USG, biayanya bisa membengkak menjadi Rp 25 ribu. Uang itu, bagi kita mungkin kecil, bahkan bisa habis hanya untuk satu kali makan. Tapi bagi Asiyah, uang itu sangatlah banyak karena bisa menyumpal perut dirinya, dan dua anaknya termasuk si jabang bayi yang ada dalam perutnya selama beberapa hari karena bisa dipakai untuk membeli 4,5 liter beras. Bayi tanpa tangan, kaki, dan anus itupun lahir dengan bantuan dukun bayi atau di daerah kami dikenal dengan paraji, dan seorang bidan desa lantaran setelah sekian lama ditangani paraji, si bayi tak lahir juga.

                                                             

Maka bisa disimpulkan, keluarga itu tak hanya hidup kekurangan, tapi “dipaksa” hidup walaupun dalam kondisi sekarat. Oleh karena itu, bukan hal yang mencengangkan bila si bayi lahir dalam kondisi tak lengkap alias cacat karena selama hamil, Asiyah tak bisa mengonsumsi makanan bergizi layaknya ibu-ibu hamil yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Bagi Asiyah, maka adalah sarana menyambung hidup dan memberinya energi agar tubuhnya bisa berfungsi demi mencari sesuap nasi bagi anaknya, bukan kesenangan, apalagi kenikmatan seperti kita.
Kisah bayi tanpa tangan, kaki, dan anus anak Asiyah mencongkel memori saya tentang kisah serupa yang saya liput tahun 2007. Kala itu pertengahan November ketika saya mendapatkan kabar ada bayi asal Kampung Pasir Asem, Desa Katulisan, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang Provinsi Banten yang lahir dengan kondisi jantung berada di luar rongga dada. Jantung itu berada di luar lantaran rongga dada si bayi tak terbentuk dengan sempurna. Di tengah guyuran hujan bulan November, saya berbincang dengan ayah si bayi yaitu Surya yang umurnya baru 23 tahun namun raut wajahnya sepuluh tahun lebih tua. Himpitan kesulitan hidup sejak masih kanak-kanak membuat lelaki yang bekerja sebagai buruh serabutan itu memanggil saya dengan sebutan neng. Padahal usia saya kala itu lima tahun lebih tua dari usianya. Ibunda sang bayi yang juga belum diberi nama itu Suneti, terlihat sangat kelelahan. Bukan hanya karena usai melahirkan tetapi juga karena kesedihan. Yah...ibu mana yang tak sedih bila anaknya lahir dalam kondisi seperti itu.
“Kalau bisa dialihkan ke saya sakitnya, saya siap,” tukas perempuan bertubuh kurus itu lirih.
Mendengar ucapan itu, saya tercekat, tenggorokan saya seolah disumpal hingga tak bisa berkata-kata. Badan saya lemas karena ikut merasakan kesedihan Suneti dan Surya walaupun saya saat itu belum menikah. Tak hanya saya, kawan-kawan wartawan lainnya, terutama yang berasal dari Jakarta banyak yang mengalami kondisi serupa dengan saya. Bahkan satu kawan dari tabloid wanita, langsung berlari sambil menangis begitu melihat si bayi. Kawan itu menangis keras-keras lantaran sebulan sebelumnya baru keguguran setelah hamil 7 bulan.Walhasil, hampir semingguan lebih saya mengungjungi pasangan itu hingga akhirnya si bayi dibawa ke Rumah Sakit Harapan Kita. Saat berangkat, Surya berkali-kali menyalami kami dan menyatakan terimakasih lantaran bila tak diliput maka anaknya tak mendapatkan bantuan untuk bisa dioperasi di Jakarta. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, setelah dirawat selama 12 hari, si bayi yang belum sempat dioperasi akhirnya meninggal dunia.
Kondisi masyarakat yang menyedihkan inilah yang membuat saya dan suami kerap bersukur dengan kondisi yang kami miliki. Rumah kreditan kami yang mungil, tentulah terasa bagai istana bagi Asiyah sekeluarga. USG yang bisa saya lakukan setiap bulan selama hamil anak pertama maupun kedua tentulah hal yang tak terbayangkan bagi Asiyah atau Suneti. Makanan yang setiap hari bisa terhidang di meja makan kami juga pasti jadi hal langka bagi Asiyah dan Suneti. Mengingat hal-hal itu, saya dan suami sepulang kerja sambil memandangi dua buah hati kami benar-benar merasakan kesyukuran atas apa yang kami miliki. Kendati tak berlebihan, kami selama ini selalu bisa memenuhi kebutuhan anak-anak walaupun harus banting tulang. Saya selain liputan juga menjalankan bisnis mlm Oriflame melalui jaringan dBCN, sedangkan suami selain liputan menjual jamur crispy (yang jualan orang lain yang kami beri gaji). Saya yang kerap mengeluh (dalam hati) lantaran harus merelakan sebagian besar waktu tidur malam saya demi menjalankan bisnis serta menimba ilmu seputar bisnis saya, tersentil sekali saat melihat Asiyah, dan mengingat Suneti yang tetap tegar kendati dihimpit kesulitan hidup yang beratnya berkali-kali lipat daripada yang saya rasakan.  Dua perempuan yang sekolah SD saja tak tamat itu tak pernah mengeluh atau bahkan menghujat dan menyalahkan siapa-siapa dengan kondisi yang mereka alami. Yang mereka tahu hanya bekerja dan berusaha sebisa mereka untuk terus mempertahankan hidup karena hidup sesulit apapun tentulah sangat berharga.(wie)




Sabtu, 10 Maret 2012

Catatan Untuk Nadia dan Ana (Bagian Ke-2)



Menyambung tulisan saya yang pertama, keberuntungan saya sebagai ibu hamil dan seorang istri makin saya rasakan, lantaran dalam pekerjaan saya banyak menemukan Nadia-Nadia lain dalam berbagai versi. Salah satunya membuat saya harus kembali ke masa silam.
Adalah Ana, Nadia versi lain yang pernah saya temui. Ibu yang baru berusia 34 tahun itu, bertemu saya di ruang tunggu dokter kandungan langganan saya. Saat itu saya masih mengandung anak saya yang pertama sekira tahun 2009. Semula saya mengira, Ana adalah pendatang baru seperti saya dalam hal melahirkan. Tapi ternyata perkiraan saya meleset. Di usianya yang baru 34 ia sudah 9 kali melahirkan, dan yang ada di rahimnya saat ini adalah anakknya yang ke-10. Ia mengaku menikah pada usia belasan lantaran ia tak lulus SD. Setelah menikah suaminya tak mau ber-KB hingga ia berkali-kali hamil. Ana mengaku dalam hati ia sebetulnya ingin tak terlalu banyak anak, bukan lantaran sakitnya melahirkan namun karena ia merasa tak bisa mengasuh seluruh anaknnya dengan fokus.
“Anak saya nggak ada yang dekat dengan saya, soalnya belum setahun saya sudah hamil lagi jadi saya belum puas memberikan ia kasih sayang, perhatian saya sudah harus terbagi dengan adik yang baru saya lahirkan,” katanya dengan bahasa Sunda.
Pantas saja Ana terlihat riang saat berada di klinik itu, dengan wajah polosnya ia bertanya pada saya apakah saya setiap bulan memeriksakan kandungan saya ke klinik itu dan melakukan USG. Saat saya jawab ya, Ana terlihat kagum. Masih dengan nada riang ia berkata sebentar lagi ia akan merasakan yang saya rasakan saat periksa ke dokter, karena untuk pertama kalinya, Ana akan merasakan yang namanya di USG gratis pula lantaran ia bisa datang ke klinik itu atas prakarsa bidan desa yang kerap memberikan penyuluhan kepadaibu hamil di desanya. Mendengar jawaban Ana, bibir saya berusaha tersenyum walaupun hati perih. Saking sedihnya saya sampai pamit untuk mengambil air minum agar dada saya tak lagi sesak. Saat saya kembali ke ruang tunggu Ana sudah masuk ke ruang periksa dan saya tak pernah lagi berjumpa dengannya. Dalam obrolan tadi, Ana juga curhat ke saya kalau ia tetap takut saat melahirkan karena sebetulnya ia tak pernah siap dengan kehamilannya. Saat saya masuk ke ruangan periksa, dokter kandungan saya yang sudah saya anggap orangtua, mengatakan kehamilan Ana berisiko lantaran ia menderita darah rendah, dan frekuensi kehamilan yang terlalu sering. Mendengar hal itu saya cepat-cepat berdoa dalam hati semoga Ana melahirkan bayinya dengan selamat.
Kisah Ana dan sebelumnya Nadia,  membuat saya teringat kembali data lama yang tersimpan dalam netbook saya. Data itu adalah data kematian ibu hamil di daerah saya yang saya peroleh dari Dinas Kesehatan. Dalam data itu tertulis angka kematian ibu hamil dan bayi tinggi karena hingga Oktober 2010 tercatat 33 kasus kematian ibu, 98 kasus kematian neonatal (bayi berumur 0-28 hari), kematian bayi (29 hari – 12 bulan) sebanyak 32 kasus. Data-data itu menggambarkan masih belum merdekanya ibu-ibu hamil di daerah kami. Masih ribuan ibu hamil bernasib seperti Nadia yang hamil dan melahirkan dalam kondisi tertekan lantaran harus berpisah dengan anak yang baru ia lahirkan, atau Ana yang hamil lantaran terpaksa. Jangankan bicara tentang bagaimana merangsang pertumbuhan dan intelegensia bayi sejak dalam kandungan dengan cara mendengarkan musik klasik atau ikut yoga sebagaimana dilakukan ibu hamil di kota besar yang berasal dari kalangan berpunya. Ibu hamil dan melahirkan di daerah kami harus merasa cukup dengan kondisi yang pas-pasan. Ada ribuan yang belum pernah merasakan USG, bahkan ada belasan ribu lainnya yang melahirkan hanya dibantu dukun bayi sehingga berisiko mengakibatkan kematiannya atau bayinya.
Saya berharap dengan tulisan ini, setidaknya kita-kita ibu yang memiliki dukungan materi maupun moril yang memadai bahkan berlebih dari keluarga, kerabat, dan teman bisa mendoakan ibu-ibu seperti Ana dan Nadia. Semoga kelak mereka berdua merasakan yang kita rasakan. Aminnn (*)





Catatan Untuk Nadia dan Ana (Bagian Ke-1)

                                                                

**Catatan ini saya buat dari kisah nyata yang saya saksikan, dengan tujuan untuk pembelajaran bagi semua pihak dan terutama keprihatinan bagi bayi mungil tak berdosa yang sebentar lagi akan berpisah dengan ibu kandungnya. Tak ada maksud memojokkan pihak-pihak dalam cerita ini dan tak ada maksud SARA, oleh karena itu beberapa orang namanya sengaja saya samarkan
Catatan Untuk Nadia dan Ana (Bagian Ke-1)
Oleh : Chandra Dewi
“Dari kemalangan orang lain, saya melihat keberuntungan diri sendiri“
Pepatah Buddha yang satu itu langsung terlintas di benak saya begitu saya sampai di rumah Bibi (seorang ibu tetangga saya yang tak perlu saya sebutkan nama aslinya-red) di sebuah kampung yang tak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Pandeglang, Minggu (13/3).
Saya datang ke rumah itu bersama ibu dan anak saya yang baru berusia setahun dua bulan. Di rumah sederhana lantaran dinding batanya masih dibiarkan terbuka atau bata ekpose itu, saya melihat sesosok ibu muda bernama Nadia yang sedang makan siang dengan lauk seadanya. Tak jauh dari tempatnya makan, tertidur seorang bayi lelaki mungil (kalau tak bisa dibilang kecil dan kurus lantaran beratnya hanya 2,1 kilogram) yang baru dilahirkan Nadia kemarin. Saya datang ke rumah itu untuk menjenguk si bayi lantaran sejak selamanan saya sudah mendengar tangisan bayi itu. Sempat saya bertanya dalam hati anak siapa itu, karena di sekitar rumah saya tak ada perempuan yang sedang hamil. Makanya begitu pagi menjelang saya langsung bertanya pada ibu saya, dan menurut ibu bayi itu anak saudara tetangga kami dan baru dilahirkan kemarin. Makanya ibu mengajak saya menengoknya.
Sambil membacakan doa untuk bayi dan ibunya, mata saya tak lepas dari sosok Nadia. Perempuan muda hitam manis dan berambut panjang diekor kuda itu begitu lekat di benak saya lantaran raut wajahnya masih menunjukkan kemudaan usia, sebetulnya ia cantik, alisnya tebal dan giginya putih bersih. Hidungnya juga bangir tapi kain batik lusuh dan kaos oblong yang ia kenakan membuat ia terlihat lebih tua . Sambil sesekali meringis menahan sakit, Nadia mengunyah dengan mata menerawang sambil memangku piringnya yang masih terisi setengah. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas ia terlihat tak fokus menjawab salam saya.
Melihat hal ini, insting pekerjaaan saya timbul, sambil tetap mengawasi anak saya yang sedang aktif-aktifnya, saya menyerap cerita tetangga saya yaitu si bibi. Kata bibi, Nadia bukanlah saudara langsungnya. Nadia hanya keponakan dari menantu si bibi. Orangtua Nadia berasal dari Makasar namun Nadia dibesarkan di ibukota Jakarta. Saat saya bertanya berapa usia Nadia ternyata ia baru saja kelas 2 SMA, yah sekira 17 tahun lah.
Lalu mengana Nadia bisa sampai ke kampung kami, bibi mengatakan itu lantaran orangtua Nadia malu anaknya hamil. Tak jelas betul apakah Nadia sudah menikah secara resmi dengan ayah si bayi yang katanya tinggal tak jauh dari rumah Nadia di Jakarta, yang jelas Nadia datang ke kampung kami atas perintah orangtua untuk melahirkan, dan  kemudian pulang ke Jakarta seolah tak pernah berbadan dua dan melahirkan seorang anak. Masih dari cerita si bibi, bayi lelaki Nadia sebentar lagi akan berpisah dengan ibunya lantaran sudah ada orang yang berminat untuk mengadopsinya. Saya sempat dibisiki ibu saya, bayi Nadia bahkan sudah ditawarkan oleh orangtua Nadia kepada yang mau mengadopsi sejak Nadia mengandung 7 bulan.
“Saya sebetulnya sudah berusaha meminta orangtua Nadia agar membiarkan anak Nadia tetap bersama ibunya. Tapi orangtuanya keras dan tak mau mengakui bayi itu sebagai cucunya,” kata si bibi dengan wajah prihatin.
“Kenapa tak diberikan ke keluarga ayah si bayi bi,” kata saya mengusulkan opsi yang menurut saya paling baik lantaran itu membuat si bayi yang sampai saat ini belum bernama itu supaya tetap dekat dengan ayah kandungnya atau orang yang sedarah. Kata bibi, sebetulnya ayah si bayi dan keluarganya pernah menanyakan kemana perginya Nadia, dan dijawab oleh orangtuanya Nadia pergi ke Makasar sambil meminta agar ayah si bayi tak menemui Nadia lagi. Tak cukup disitu, handphone Nadia pun disita oleh orangtuanya agar gadis muda itu tak berhubungan lagi dengan kekasihnya. Hal itu, menurut bibi dilakukan lantaran Nadia kabarnya sebelum hamil kerap melawan orangtuanya dan tak melaksanakan apa yang diperintahkan dan akhirnya hamil walau masih berstatus pelajar. Oleh karena itu, orangtua Nadia bersikukuh akan tetap memberikan bayi Nadia pada orang yang mau mengadopsi walaupun kabarnya orangtua Nadia adalah orang berpendidikan dan mampu secara materi.
Mendengar kisah Nadia, tenggorokan saya tercekat. Bagaimana tidak, seorang ibu yang baru satu hari melahirkan anaknya dengan bertaruh nyawa sebentar lagi akan berpisah dengan buah hatinya itu. Saya seorang ibu, dan saya pernah melahirkan, makanya saya tahu tak ada seorang ibupun yang bisa berpisah dengan anaknya. Apalagi siang itu saya melihat Nadia (walaupun mungkin dulu adalah ABG yang kelakuannya tak terpuji atau di kaskus.us kerap disapa dengan sebutan ababil alias ABG labil karena melawan orangtua) tiba-tiba sudah bermertamorfosis menjadi ibu. Ia dengan telaten membereskan 12 buah popok milik bayinya yang bisa jadi menjadi selusin-selusinnya popok yang ia miliki. Dari sinar matanya pun, saya tahu ia menyayangi anaknya sepenuh hati walau badannya masih remuk redam setelah melahirkan. Sekadar informasi, saat saya jenguk Nadia sepertinya belum sehat betul karena setelah melahirkan Nadia hanya dirawat selama dua jam di klinik milik seorang bidan di kampung kami lantaran terbatasnya biaya. 
Sambil berjalan pulang dan menggendong anak saya, saya dan ibu saya tak kuasa menahan tangis yang kami tahan sejak berada di rumah bibik. Dengan perasaan berat kami melangkah pulang sambil terus mengelap mata kami yang berair. Di rumah ibu saya berkata, tak seharusnya Nadia berpisah dari anaknya. Walaupun sebejat apapun anak tak berhak ia menanggung nasib seperti Nadia karena bagaimanapun lanjut ibu saya hal itu terjadi lantaran kesalahan orangtuanya juga yang tak mendidik anak sehingga anak terjerumus pada perbuatan dosa. Sambil mengucap istigfar berulang kali, ibu saya berkata belum tentu Nadia akan kembali menjadi anak yang baik bila bayinya dipisahkan dari dia. Bisa jadi Nadia malah tertekan dan masuk lebih dalam ke perbuatan dosa.
“Bagaimanapun bayi kecil itu tak berdosa, ia lahir di dunia karena Allah SWT punya rencana. Kita saja yang tak tahu rencana itu. Makanya daripada dipisahkan dengan ibunya, biarkanlah diurus saja. Siapa tahu anak itulah yang kelak akan membalikkan sifat ibunya yang kurang baik menjadi baik, karena bagaimanapun saat menjadi ibu naluri keibuaan itu akan muncul. Kalau bicara malu pasti semua orangtua malu punya anak hamil duluan, toh bukan orangtua saja yang malu, anak yang melakukan itu pasti juga malu. Tapi sangat tak baik, bila dosa itu akan diperpanjang dengan memisahkan seorang ibu dengan darah dagingnya. Biarlah yang sudah berlalu ya berlalu, tinggal di masa depan jangan lagi diulangi kesalahan itu,” kata ibu saya.
Mendengar itu saya Cuma bisa mengamini, saya tak bisa bicara, lidah saya kelu membayangkan wajah Nadia dan bayinya. Saya merasa dengan kondisi yang dialami Nadia, saya adalah perempuan yang sangat beruntung memiliki keluarga yang kompak mendukung saya dan kehamilan saya, baik saat saya mengandung anak pertama, maupun saat ini ketika saya mengandung anak kedua saya yang baru menginjak bulan keempat. Saya punya ibu yang dengan ikhlas saya titipi anak pertama saya, membuatkan makanan kesukaaan saya saat saya mengalami muntah-muntah hebat di awal kehamilan. saya juga punya bapak yang baik karena dengan cekatan menolong saya menggendong dan menina bobokan anak saya dengan lantunan suling Sunda bila jagoan saya rewel menjelang tidur. Saya juga punya suami hebat yang selalu mengingatkan untuk minum vitamin, mengingatkan jadwal periksa atau mengingatkan agar saya tak terlalu capai saat bekerja dan tak mengeluh kalau pulang kerja saya titip makanan lantaran tak berselera dengan makanan yang ada di rumah. Atau dengan telaten menunggui saya melahirkan walaupun mungkin sebetulnya ia takut darah, bahkan membantu memakai korset beberapa saat setelah saya melahirkan sekaligus mengawal saya sampai ke kamar mandi hanya karena ia khawatir saya pingsan di kamar mandi usai melahirkan.
Saya makin merasa beruntung lantaran saya dan suami walaupun tak berlebih, dianugrahi rejeki yang cukup untuk membiayai kehamilan dan kelahiran saya. Saya bisa kontrol kehamilan sebulan sekali, melihat polah bayi saya melalui USG, dan sesekali memanjakan diri dengan luluran atau santai membaca buku yang saya sukai. Saya bahkan bisa mengakses internet untuk mencari informasi seputar kehamilan dan pengasuhan anak. Bagi Nadia, hal-hal yang saya rasakan itu mungkin saya sebatas impian saja karena sebentar lagi Nadia harus kembali ke Jakarta dan berusaha melupakan wajah anaknya yang saya yakin adalah hal yang mustahil. Entah apa yang ada di fikiran orangtuanya, tetapi bagi saya Nadia hanya korban. Ia hanya anak kecil yang tersesat lantaran orangtuanya mungkin tak memberikan ia rambu-rambu untuk menjalani lika-liku jalan kehidupan yang salah satunya bisa didapat dengan agama. Oleh karena itu, saya berharap, kisah Nadia yang saya tuturkan bisa menjadi pelajaran bagi semua orang. Bagi adik-adik yang seusia Nadia, berfikirlah jutaan kali sebelum melakukan hubungan suami istri sebelum menikah, jangan sampai ada bayi mungil yang tak berdosa yang menjadi korban dan tak bisa mengenal ayah dan bundanya atau mendapatkan kehangatan orangtua hanya karena berada dalam kondisi seperti Nadia. Untuk orangtua, saya berharap kisah ini mengilhami agar kita membesarkan anak dengan cara memberikan teladan lantaran itu bermakna lebih kuat daripada hanya sekadar melarang tanpa memberikan alasan sebagaimana rentetan puisi karya Dorothy Law Nolte yang saya kutip dari internet.
Anak-Anak Belajar Dari Lingkungan Hidupnya
Jika anak biasa hidup dicacat dan dicela,
kelak ia akan terbiasa menyalahkan orang lain.
Jika anak terbiasa hidup dalam permusuhan,
kelak ia akan terbiasa menentang dan melawan.

Jika anak biasa hidup dicekam ketakutan,
kelak ia akan terbiasa merasa resah dan cemas.
Jika anak biasa hidup dikasihani,
kelak ia akan terbiasa meratapi nasibnya sendiri.
Jika anak biasa hidup diolok-olok,
kelak ia akan terbiasa menjadi pemalu.
Jika anak biasa hidup dikelilingi perasaan iri,
kelak ia akan terbiasa merasa bersalah.
Jika anak biasa hidup serba dimengerti dan dipahami,
kelak ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak biasa hidup diberi semangat dan dorongan,
kelak ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak biasa hidup banyak dipuji,
kelak ia akan terbiasa menghargai.
Jika anak biasa hidup tanpa banyak dipersalahkan,
kelak ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri.
Jika anak biasa hidup mendapatkan pengakuan dari kiri kanan,
kelak ia akan terbiasa menetapkan sasaran langkahnya.
Jika anak biasa hidup jujur,
kelak ia akan terbiasa memilih kebenaran.
Jika anak biasa hidup diperlakukan adil,
kelak ia akan terbiasa dengan keadilan.
Jika anak biasa hidup mengenyam rasa aman,
kelak ia akan terbiasa percaya diri dan mempercayai orang-orang di sekitarnya.
Jika anak biasa hidup di tengah keramahtamahan,
kelak ia akan terbiasa berpendirian : “Sungguh indah dunia ini !”

(Dorothy Law Nolte)
Anak-anak Belajar Dari Apa Yang Mereka Alami
Bila anak hidup dengan kritikan,
Ia belajar untuk mengutuk.
Bila anak hidup dengan permusuhan,
Ia belajar untuk melawan.
Bila anak hidup dengan ejekan,
Ia belajar menjadi pemalu.
Bila anak hidup dengan rasa malu,
Ia belajar untuk merasa bersalah.

Bila anak hidup dengan toleransi,
Ia belajar menjadi sabar.
Bila anak hidup dengan penuh dukungan,
Ia belajar untuk percaya diri.
Bila anak hidup dengan keadilan,
Ia belajar menjadi adil.
Bila anak hidup dengan rasa aman,
Ia belajar untuk mempunyai keyakinan.
Bila anak hidup dengan pengakuan,
Ia belajar untuk menyukai dirinya.
Bila anak hidup dengan kejujuran,
Ia belajar kebenaran.
Bila anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan,
Ia belajar menemukan rasa kasih sayang di dunia.

(Terjemahan dari Dorothy Law Nolte, 1982)

Anak Belajar Dari Perlakuan yang Dialaminya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(Dorothy Law Nolte)



Jumat, 09 Maret 2012

Hamil Vs Cumi-Cumi

Ini catatan lama yang saya buat pada Rabu 1 Juli 2009, saat saya sedang hamil anak pertama

Siang ini, Rabu (1/7) sepulang liputan di Pengadilan Negeri (PN) Serang, saya bersama seorang kawan makan di sebuah warteg alias warung tegal di kawasan ciceri. cape sesudah liputan ditambah perut keroncongan karena jatah makanannya harus dibagi dua dengan janin usia 13 minggu yang sedang saya kandung membuat saya makan dengan lahap. Sekadar informasi menu makan siang saya kali ini adalah urap, sayur udang dan cumi masak kecap....hmmmm sedap.
Lagi enak-enaknya mengunyah makanan dengan konsentrasi penuh, tiba-tiba sebuah colekan membuyarkannya, colekan yang mendarat di perut saya itu ternyata dilayangkan oleh seorang ibu berjilbab yang sedang membeli makanan di warteg itu.
Sambil memperhatikan perut saya, ibu itu bertanya : "neng sedang hamil yah?"katanya dengan mata membelalak.
saya dengan spontan dan mulut masih dipenuhi nasi serta cumi masak kecap menjawab : "iya bu, memangnya ada apa?"
Lalu ibu itu dengan enaknya nyerocos kalau orang hamil itu dilarang keras makan cumi-cumi.
"Kalau saya sih pantangan makan cumi pas hamil,"tukasnya sambil bergidik.
jawaban serta bahasa tubuhnya (bergidik gitu loch) membuat saya bertanya-tanya di hati dan tak lama meluncur pertanyaan dari mulut saya "emangnya kenapa bu, orang hamil nggak boleh makan cumi?"
tapi bukannya mendapatkan jawaban yang valid and menyakinkan ibu itu cuma bilang "ih amit-amit moga-moga nggak kenapa-kenapa yah" katanya sambil ngeloyor pergi dan menggantungkan rasa penasaran saya yang setinggi tugu Monas.
Setelah sempat bertanya-tanya pada kawan semeja, menurut kepercayaan orang tua, orang hamil tak boleh makan cumi karena takut anak yang dilahirkan kelak berkulit hitam, mengingat cumi dilengkapi tinta hitam di tubuhnya, selain itu ada juga yang bilang kalau makan cumi ntar anaknya mirip cumi (ih amit-amit).
Merasa penjelasan orang-orang itu tak mumpuni, saya akhirnya browsing dan bertanya pada mang Google. Dari ribuan artikel yang saya baca, hal-hal seperti dilontarkan si ibu berjilbab yang suka bergidik di warteg itu lebih condong ke mitos, namun dari penjelasan logisnya yang artikelnya saya temukan di harian surya orang hamil hendaknya membatasi makan seafood (bukan hanya cumi) bila laut tempat diambilnya seafood diketahui tercemar. lagian kata artikel di surya itu, kalau makan seafood kebanyakan juga nggak bagus, bukan hanya bagi orang hamil soalnya kolesterolnya tinggi. masih di artikel yang sama dikatakan kalau ibu hamil yang makan seafood kelak anak yang dilahirkannya akan ber IQ tinggi (amin ya robbal alamin).
Tapi rupanya membaca artikel itu belum membuat saya tenang, akhirnya saya angkat telepon dan menelfon ibu saya dan alhamdullah jawaban ibu saya sama dengan keterangan di artikel di Surya.
Menilik dari pengalaman ini, saya jadi mikir tentunya banyak diantara ibu hamil yang menelan mentah-mentah mitos seperti mitos cumi-cumi. padahal, kalau dicermati dan ditanyakan ke ahlinya hal-hal itu sungguh tak beralasan. kebayang dong ibu hamil apalagi yang hamil muda untuk makan saja susah masih ditambah dengan mitos-mitos yang kesannya melarang ibu hamil makan ini itu. kalau sudah begitu bukannya bayi sehat yang didapat, bisa-bisa malah bayi kurang gizi yang dilahirkan. kalau sudah begini saya berpendapat, lebih baik anak kita berkulit hitam tapi cerdas daripada putih tapi bloon plus kurang gizi. kan Obama aja kulitnya hitam tapi jadi idol sedunia, lagian kalau bapak ibunya berkulit putih atau kuning langsat masa anaknya item lestreng..ya nggak mungkin lah. soo buat ibu hamil seantero dunia, lebih baik fokuskan diri pada kesehatan diri dan bayi. jangan terlalu banyak mendengarkan omongan dan mitos yang tak bisa dipertanggunjawabkan.cayoo gambate..

Arab Hongkong


Formasi lengkap The Tirtalaksana's


Orang-orang tua dulu sering bilang kalau jodoh itu jorok, bisa ketemu kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja baik dalam kondisi bagus atau bahkan saat kamu berada di situasi yang paling malu-maluin

...ihh apa pula itu, ujar saya nggak setuju.

Beneran, saya benar-benar nggak setuju dengan pernyataan para orangtua itu, karena menurut saya jodoh yang dekat banget dengan kata cinta adalah hal yang harus diperjuangkan dengan sangat-sangat berat terutama bila menghadapi rintangan segede gunung, maka kita harus sanggup memindahkan gunung tersebut (hufft lebay)

..ya deh nggak lebaynya itu artinya untuk urusan cinta bin (atau binti) jodoh harus diusahakan dengan sangat..sangat serius.

Tapi itu dulu, sekarang saya yang memang sudah berangkat tua, mulai tahu kalau pernyataan orang-orang itu benar adanya.

Heheheheh..lah gimana ceritanya kok elu jadi ikutan setuju ma orang-orang tua itu..nggak karena gara-gara mulai muncul kerutan halus di sudut mata lu kan?kata temen saya sambil nyindir nyinyir.

Hahahahah ya enggak gara-gara kerutan di mata lah, ini karena gua sudah mengalaminya..kata saya pede sambil mulai duduk bersila siap-siap bercerita.

Saya a.k.a Chandra Dewi, layaknya pemuda pemudi harapan bangsa Indonesia Raya ini, sepanjang hidupnya tentulah mengalami berbagai cobaan cinta (jiahh istilahnya).

Dari sejak ngerti kalau antara lelaki dan perempuan bisa timbul rasa hingga kira-kira berumur 28 tahun, saya berkali-kali mengalami yang namanya putus cinta. Lantaran merasa tak pernah main-main (maksudnya sejak ditasbihkan jadi perempuan dewasa alias diatas 18 tahun (soalnya menurut UU perlindungan anak yang disebut anak itu berusia antara 0-18 tahun), saya berkali-kali dikecewakan sama produk hasil panah cupid itu, lantaran lagi-lagi saya tak berjodoh dengan lelaki yang saat itu menjadi pacar (sekarang mantan dong) saya.

Ada yang putus karena saya diselingkuhi padahal kami sudah tukar cincin, ada juga yang putus hanya karena hal sepele padahal saya sudah bertahun-tahun pacaran sampai kenal seluruh keluarganya dan yakin kalau ia akan menjadi suami saya dalam waktu dekat.


Pokoknya jatuh bangunnya saya dalam cinta benar-benar dahsyat sampai akhirnya saat terakhir kali putus dengan pacar, karena kesal banget dan saya langsung berbicara serius dengan orangtua saya soal ini.

Saya waktu itu menyatakan dengan tegas bahwa saya malas mencari pacar apalagi pacaran, bahkan kalaupun yang namanya suami itu harus dicari saya sudah menyatakan menyerah kalah.

"Kalau disuruh cari nggak mau, pokoknya nggak mauuuuuuu" ujar saya ngotot pake bersumpah segala di depan orangtua yang waktu itu cuma berlinangan air mata (yang ini nggak lebay karena orangtua saya tahu untuk urusan mencari jodoh dan menjalin hubungan dengan lelaki saya selalu serius makanya mereka juga tahu kalau sumpah saya juga very serious).


Lantaran sudah bersumpah, saya benar-benar nggak peduli apalagi main hati dengan lelaki.

Kalaupun ada yang mendekati semua saya anggap teman saja, kali ini saya benar-benar tak mau rugi (lagi) untuk kesekian kalinya.

Maklum beberapa episode pacaran saya yang terakhir saya jalani secara jarak jauh, beda provinsi bahkan pernah beda pulau.

Tak heran kalau pulsa saya kerap terkuras, sama dengan terkurasnya dompet saya karena saat libur sebulan sekali saya menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah orangtua pacar (pacar juga tinggal disitu-red) yang sudah saya anggap orangtua sendiri.

Sudah gitu yang bikin nyesek akhirnya kok putus juga dengan kondisi yang tak mengenakkan (emang ada putus yang mengenakkan?hehehehehehhe).


Eh tapi bukan hanya rugi materil yang saya maksudkan, tapi kerugian yang paling terasa ya rugi hati...misalnya piring yang pecah solusinya ya bisa beli lagi...lah kalau hati pecah cari toko hatinya dimana?kalaupun direkatkan kembali pakai lemnya apa?

Lagipula kalau hati bisa bisa di-lem, saya yakin retakan-retakan itu akan tetap ada sampai kapanpun. Atas dasar pertimbangan tak mau sakit hati lagi, maka saya dengan mantap dan tak berada dalam tekanan pihak manapun menyatakan "puasa cinta" xixixixixi.

Selagi saya "menikmati" masa-masa "puasa cinta" itu, tanpa saya sadari tangan-tangan Tuhan sedang bekerja melalui doa orangtua.

Saya yang cuek bebek rupanya sedang dipersiapkan untuk bertemu dengan prince charming saya yang kali ini tak naik kuda seperti pengeran-pangeran di dunia dongeng tapi naik motor bebek (kelak setelah menikah ganti jadi motor gede lantaran motor bebeknya sudah kesempitan akibat anggota keluarganya bertambah dalam waktu singkat hehehehehhe).


Prince charming yang saya maksud ya suami saya sekarang ini yang pertemuan saya dengannya sampai saat ini benar-benar membuat saya kagum lantaran ajaib dan unik.

Kenapa unik...soalnya kami berdua belum pernah saling atau salah satu menyatakan cinta layaknya pasangan lain.
Saya dan suami sejak awal hingga sekarang kerap merasa kalau kami berteman dan bersahabat (sssttt..makanya sampai sekarang kalau nggak ada anak-anak saya lebih suka memanggil suami dengan sebutan coy..cui..boi..atau panggilan sobat lainnya).

Makanya kami kerap bercanda kalau kami ini "teman tapi mesra".

Lah kalau belum menyatakan cinta kok bisa menikah?...hehehe itulah uniknya bila tangan-tangan Tuhan sudah bekerja hal yang tak mungkin bisa menjadi mungkin kan?.

Mau tahu kisahnya..begini nih.

Saya dan suami tak pernah menyangka bisa menikah karena sejak awal kami "nothing too loose" dengan yang namanya cinta makanya tak pernah ada satupun dari kami yang menyatakan cinta.

Kami bertemu karena setiap hari memang liputan bersama tapi tak pernah tuh ngebahas cinta layaknya orang yang pacaran.
Kalau lagi bareng kerjaan kami berdua ya cuma liputan. Paling kalau ada yang diobrolin ya soal materi liputan atau kelakuan pejabat pemerintahan yang ribet bin aneh.

Bingung ya dari tadi ngomongin liputan mulu, mang situ wartawan yak?

heheheheh maaf saya lupa cerita. Saya dan suami sama-sama wartawan di dua media lokal yang berbeda di Provinsi Banten. 
Kami berdua bertemu saat sama-sama liputan.
Saya yang sudah lebih dulu liputan disitu, sedangkan suami semula liputan di sebuah koran nasional khusus desk kriminal, namun pulang kampung lantaran ingin lebih dekat dengan orangtuanya.

Lalu gimana awal mulanya kok bisa ketemu...ya standar lah, suami saya yang "anak baru" saat itu mengirimkan pesan singkat ke telepon selular rekan wartawan lokal yang saat itu sedang liputan sama saya.

Kawan saya itu kemudian meminta suami saya menemuinya di lokasi tempat saya dan kawan saya liputan sehingga singkat cerita hari itu kami bertemu sekilas.
Kenapa sekilas,  soalnya saya sudah selesai wawancara sementara suami baru sampai ke lokasi wawancara.
 Makanya kami waktu itu cuma sempat salaman tapi 5 menit sehingga saya lupa nama plus tampangnya karena yang saya ingat hanya media tempat suami saya bekerja.

Walhasil sejak bertemu pertama kali hingga pertemuan-pertemuan sekilas selanjutnya (aneh karena sejak ketemu sampai beberapa kali kami nggak pernah bisa wawancara bareng or liputan bareng selalu ada salah satu yang ketinggalan, kalau nggak saya ya suami) saya benar-benar nggak bisa mengenal suami saya secara mendalam..

Tapi itulah, lagi-lagi kondisi hasil skenario Tuhan mempertemukan kami, saya untuk diketahui adalah wartawan paling aneh sedunia karena nggak bisa mengendarai motor apalagi mobil.

Makanya saya akan sangat senang kalau ada teman wartawan yang bisa ditebengi. Bermodal senyuman manis saya yang kemana-mana selain meneteng tas perlengkapan tempur isi laptop, kamera, notes, dan pulpen juga menenteng-nenteng si bulat manis pelindung kepala (maksudnya helm) yang saya pakai sebagai modal nebeng ke teman wartawan lain yang mayoritas lelaki.

Saya bawa helm untuk mengantisipasi teman yang nggak mau ditebengi dengan alasan nggak punya helm cadangan dan malu ditilang polisi (hahahahaha ini siasat dan jurus andalan anti ditolak nebeng hasil inovasi saya loh).

Tapi suatu hari kalau tak salah ingat di tahun 2006 setelah hari-hari liputan yang melelahkan pasca tragedi penembakan warga oleh polisi hutan di Taman Nasional Ujung Kulon, di hari Jumat jelang satu hari libur besarnya wartawan lokal, saya dan suami bertemu dengan suasana yang lebih nyaman.

Lokasi pertemuan kami adalah di pendopo Pemda Pandeglang tepat di bawah pohon besar yang kerap dijadikan lokasi duduk-duduk oleh pegawai maupun wartawan yang melepas lelah usai panas-panas liputan.

Saat itu saya akhirnya tahu bila nama lengkap suami adalah Mardiana Tirtalaksana hehehe maklum saya selama ini memanggil Ryan biar simpel.
Lucunya saya saat itu tak ingat persis wajah suami..yang saya inget hanya matanya yang sipit (saya sempat menyangka bila suami keturunan Tionghoa), rambutnya yang gondrong, serta gantungan kunci kepala Che Guevara yang nyangkol dengan manisnya di tas kecilnya yang berisi notes.

Saya yang siang itu ngobrol ngalor ngidul dengan dia (ehmm) entah kenapa merasa seperti bertemu sahabat lama..kami seolah pernah kenal bertahun-tahun sebelumnya (ssssttt satu lagi yang saya ingat dari suami adalah bau alami badannya yang enak banget antara campuran pewangi pakaian hasil cucian ibunya, bau tembakau, dan bau shampoo atau mungkin deodorat yang yang saya nggak ngerti apa merknya).

Yang jelas saya merasa nyaman duduk mengobrol dengan lelaki sipit yang kerap mengenakan pakaian warna hitam-hitam itu.

Dari obrolan soal liputan Ujung Kulon hingga aktivitas kami di kampus dulu, suami tiba-tiba mengajak saya menemaninya kondangan, kebetulan "abangnya" di organisasi kala ia masih di kampus, menikah. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan tanpa ada harapan apapun.

"Lumayan lah refresing kan udah lama gua nggak liburan, sekalian pulangnya minta dianterin ke toko buku," ujar otak saya yang kala itu malah langsung me-list daftar buku yang hendak saya beli sepulang kondangan, maklum saya maniak buku.

Maka berbekal janji di bawah pohon,kami pun bertemu keesokan harinya untuk kondangan walaupun pada akhirnya batal karena nenek suami meninggal.

Tapi sejak janjian kondangan itu, kami liputan berdua kemana-mana bersama. We become a dynamic duo, bagai Batman dan Robin, bagai Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, bagai penumpang dan tukang ojeknya (hehehhehe upsss becanda ;p).

Tapi momen-monen itu lagi..lagi tak membuat salah satu diantara kami yang mengutarakan cinta.

Terutama saya yang masih "trauma" dan sedang menjalani tapa brata cinta (hehehehhehe) tak mau ambil risiko hati saya yang sudah retak-retak ini kembali pecah bekeping-keping (bayangin gimana kalau pecahannya kecil-kecil kan repot nyatuinnya uhhh rempong deh cin) hanya gara-gara jatuh cinta (lagi).

Lagi pula, entah kenapa, saya tak punya minat pacaran walaupun saya merasa nyaman dengan si Ryan yang belakangan saya gelari dengan sebutan Arab Hongkong.

Maka kamipun menjalani masa-masa pertemanan bersama tanpa ada ikatan selama kurang lebih enam bulan.

Oh ya sekedar mengingatkan ada peristiwa lucu kenapa saya menggelari suami dengan sebutan Arab Hongkong. Begini dialognya :

#lokasi : Kantin di salah satu kantor pemerintahan sekira pukul 13.00 WIB#
#Setting : suasana makan siang antara Dewi (D) dengan Ryan (R)#

(D) : Cuy (sambil menyuapkan sesendok penuh nasi plus gudeg ayam dan perkedel jagung) lo waktu kuliah ngambil jurusan apa?komunikasi?kok bisa jadi wartawan sih?

(R) : (Sambil nyengir) enggak..gua jurusan Sastra Arab

(D) : Ohh..ngapain lo ngambil jurusan itu...emang lo mau ke Arab gitu cita-citanya?(kali ini sambil nyeruput teh tawar anget lantaran tenggorokan seret akibat maruk nelen bakwan jagung plus nasi plus gudeg).

(R) : (Sambil senyum-senyum dan ngudek-ngudek nasi dengan lauk rendang hati sapi plus gudeg) hehehe lo tahu nggak gua ngambil jurusan Bahasa Arab soalnya..gua ini sebenernya keturunan Arab loh dari bapak gua....buktinya nih lihat hidung gua mancung (ketawa sambil ngelirik hidung saya yang pesek yang lirikannya saya asumsikan sebagai perilaku menyindir)

(D) : Haahhhh....$#@***^^>>+&%%# ...?Arab darimana lu, Arab Hongkong sih iya cuy, secara mana ada Arab sipit kayak elu (berkata setengah teriak lantaran protes sambil menunjukkan wajah tak karu-karuan karena mulut penuh dengan nasi gudeg tapi berusaha ngomong plus nahan ketawa sementara hati heran banget soalnya mikir hidung mancung itu similar alias sejenis nggak ya dengan hidung gede).

Belum lagi denger jawaban aneh mosok ngambil jurusan kuliah lantaran hidung heheheheheh).

Maka sejak saat itu, resmilah Ryan mendapatkan gelar kehormatan dari saya yaitu si Arab Hongkong.

Kembali ke soal jodoh, kebersamaan saya dan si Arab Hongkong itu tak terasa sudah 6 bulanan. Saya yang sejak awal nggak serius (ini pertama kali dalam hidup saya sebagai perempuan dewasa saya tak serius soal hati) shock karena si Arab Hongkong tiba-tiba menyatakan hendak melamar saya.

 Tweengg...saya kaget nggak nyangka walaupun lama...lama sadar kalau si Arab Hongkong ini yang saya tunggu sekian lama yang tanpa saya sadar sejak kecil sudah saya lukis sosoknya di benak saya karena setiap bapak atau ibu saya bertanya saya ingin punya suami seperti apa selalu saya jawab yang rambutnya gondrong (soal ini saya kayaknya kebanyakan nonton film tarzan dan film Indian dimana lelaki-lelaki di film itu kebanyakan berambut gondrong).

Selain itu, saya ingat-ingat hampir mayoritas pacar saya matanya sipit hehehehehe (saya penggemar lelaki lokal asia).

Selain itu, si Arab Hongkong ini entah kenapa bisa menghandle saya dengan gayanya yang cool, yang bikin saya yang biasanya menderu-deru seperti mobil balap menjadi lebih "pelan" untuk menyadari adakalanya memperlambat laju bisa menyenangkan karena bisa merasakan hembusan angin sepoi-sepoi dan pemandangan indah di sekeliling.

Tak heran sepanjang liputan bareng (saya enggan menyebutnya pacaran karena selama bersama kami tak pernah membahas cinta-cinta atau gimana kalau menikah dll ala ABG zaman sekarang yang dikit-dikit galau asmara) saya dan si Arab Hongkong ini tak pernah bertengkar hebat, apalagi selama bersama saya memang tak pernah memposisikan diri sebagai pacarnya sehingga saya merasa tak punya hak untuk marah atau keberatan dengan apapun yang ia lakukan atau begitu juga sebaliknya atau istilahnya bebas-bebas saja.

Maka saat lamaran tiba, keajaiban pun lagi-lagi diperlihatkan Tuhan. Orangtua si Arab Hongkong dan orangtua saya ternyata berteman, maklum sama-sama abdi negara pelayan masyarakat.

Anehnya tak pernah ada upaya menjodohkan kami.

Adik si Arab Hongkongpun ternyata kuliah di kota yang sama dengan saya dan si Arab Hongkong pun kerap mengunjungi adiknya tapi kami tak pernah sekalipun satu bus atau minimal papasan di terminal.

Selain itu, kami yang hampir 20 tahunan satu kota bahkan tak pernah bertemu sama sekali walaupun sebenarnya berada di satu momen yang sama misalnya saat shalat Idul Fitri atau hari besar keagamaan lainnya.

Persis seperti sinetron, saya yakin kami berdua pernah berada di satu frame yang sama berkali-kali walaupun tak pernah saling menyadari.

Pada titik ini saya menyadari kebenaran perkataan orang-orang tua dulu soal jodoh itu jorok yaitu bertemu dimana saja disaat kapanpun dalam kondisi apapun.

Buktinya, saya yang tak pernah menyangka akan bertemu dengan si Arab Hongkong saat saya sudah imun terhadap cinta dan pernikahan tahu-tahu bersanding dengannya di pelaminan.

Saya yang alergi sama yang namanya cinta lantaran hatinya sudah retak parah, entah kenapa langsung mengiyakan saat si Arab Hongkong datang melamar bersama orangtuanya.

Saya yang semula apatis bisa bersuami tiba-tiba sekarang saat bangun malam menyadari ada sesosok tubuh tertidur pulas di sebelah saya.(sambil ngorok heuhehhe).

Pendek kata, karunia memiliki keluarga seperti saat ini tak pernah saya bayangkan di alam sadar saya, walaupun diam-diam tertanam kuat di alam bawah sadar saya dan kemudian didorong doa tulus orangtua hingga Allah SWT berkenan mengulurkan tangannya.

Meminjam istilah Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi..langit mendengar doa orangtua saya dan doa alam bawah sadar saya yang melukisan sosok pangeran yang saya idam-idamkan dan kemudian mencurahkan semuanya tepat pada waktunya dengan cara yang indah lantaran misteriusnya.

Berliku-liku, melewati sejumlah hati hingga saat bertemu hati saya maupun hati si Arab Hongkong sama-sama sudah terlatih melewati perihnya sembilu cinta, menahan gempuran amarah akibat rasa ingin memiliki, maupun kegamangan akibat gejolak masa muda ;p.


Kalau sudah begini, kadang saya menyesal kenapa pakai pacaran, toh saya juga akhirnya bertemu jodoh dengan orang yang paling tak pernah saya pikirkan untuk menjadi jodoh saya.


Suami saya si Arab Hongkong kalau saya tanya soal ini juga menjawab hal yang sama.

Ia juga ternyata baru putus dengan pacar yang ia sangat harapkan bisa menjadi istrinya sebelum akhirnya bertemu saya.


Pokoknya kalau dipikir menggunakan nalar, perjalanan cinta saya dengan si Arab Hongkong seperti mimpi.

Bahkan kami yang saat ini sudah dikaruniai dua buah hati (Wildan Syarifudin Sajid 2 tahun, dan Aiesha Akela Ishana 6 bulan), masih kami kerap dibuat tak percaya kalau kami bisa bertemu bahkan bisa menghasilkan dua anak xixixixixi.

Semuanya serasa baru kemarin, padahal empat tahun sudah berlalu. Kami berdua yang semula langsing-langsing sekarang sudah langsung. Kami yang semula cuma dua wartawan muda sekarang mulai menua walaupun masih juga jadi wartawan (hehehehe).

Namun satu yang saya ingat soal berjodoh dengan si Arab Hongkong adalah perkataan mantan pacar yang pernah mempertanyakan kenapa saya tak menikah dengan seorang santri.

Kata mantan pacar saya, dalam percakapan dengan saya di satu sore di kawasan ponpes Daarut Tauhid Gegerkalong Bandung sepulang kami memesan tempat untuk calon ibu mertua saya yang akan datang ke Bandung bersama kelompok majelis taklimnya. Waktu itu saya yang kuliah di sebuah perguruan tinggi Islam milik swasta di Bandung kata mantan pacar semestinya berpacaran atau menikah saja dengan seorang santri agar lebih nyambung.

Saya waktu itu cuma sedikit marah kenapa ia bertanya seperti itu padahal status saya masih berpacaran dengan ia.

Tapi pas sudah bertemu si Arab Hongkong, saya menyadari ucapan mantan pacar itu doa, karena sebelum kuliah di UIN suami saya mondok jadi santri di sebuah ponpes modern di Kabupaten Lebak-red).

Peristiwa itu mungkin salah satu cara Tuhan untuk memberitahu saya perihal jodoh saya, hanya waktu itu saya tak serius mendengar.(masih agak budeg saya-nya)

Dengan pengalaman ini saya juga makin sadar bila jodoh sesuai janji Allah SWT sudah ditetapkan dan akan indah pada waktunya.

Kita sebagai manusia hanya perlu bersabar hingga bisa bertemu dengan jodoh kita.

Berkaca pada kondisi ini saya jadi ingat cerita dan kepercayaan bangsa Cina yang pernah saya dengar dari orang-orang tua Cina yang tinggal di kampung ibu saya di selatan Jawa Tengah dimana setiap manusia sudah diikatkan di jari kelingkingnya seutas benang merah jodoh.

Benang itu tersambung pada jari kelingking jodohnya. Namun panjang benang itu berbeda-beda, ada yang panjang, sedang hingga pendek.

Ada pula yang berputar-putar dengan ruwetnya sehingga terkadang bertalian dengan benang orang yang bukan jodohnya seperti benang merah milik saya.

Namun ada pula yang pendek dan langsung tersambung dengan cepat kepada si pemilik hati.

Tapi berapa panjang atau ruwetnya benang merah jodoh itu, kelak pemilik dua kelingking itu pasti akan bertemu lantaran ada proses tarik menarik diantara dua pemilik benang.

Jadi kalau sekarang "benang merah jodoh" Anda belum tersambung dengan orang yang jadi jodoh Anda, nikmati saja, rasakan nanti sensasi kejutan saat si pemilik benang merah Anda tiba-tiba merenggut benang itu dimana saja Anda berada dan dalam kondisi apapun Anda dan dengan penuh cinta berka berkata

"Maukah kamu menghabiskan masa hidupmu denganku dan menjalani hidup ini semata-mata demi cinta terhadap keluarga kita dan Tuhan,".


Chandra Dewi & Mardiana Tirtalaksana

Kalau Anda sudah mengalami itu, Anda pasti tahu jodoh itu jorok, buktinya ya saya dan si Arab Hongkong itu lah ;p. (wie)

K.A.R.E.N.A.C.I.N.T.A

Sambil mengetik catatan ini, lagu yang dinyanyikan grand finalis Indonesian Idol Joy Tobing dan Delon mengalun lembut di telinga saya (maklum dengar musiknya pakai headset). Salah satu penggalan syairnya berbunyi :

Dan bila aku berdiri
Tegar sampai hari ini
Bukan karena kuat dan hebatku
Semua karena cintaaa
Semuaaa karena cinta
Tak mampu diriku dapat berdiri tegak
Terima kasih cinta

Persis dengan syair lagu tersebut, penggalan hidup yang sedang saya jalani saat ini semua saya lakukan dan niatkan karena cinta. Kenapa cinta, karena cinta itu yang membuat saya kuat menghadapi semuanya.Cinta kepada dua anak saya, maupun pada suami serta orangtua dan mertua serta kerabat membuat saya tegar dalam berusaha menjemput rejeki halal dari Sang Maha Kaya.

Well, memang hidup saya sebenarnya tak bisa dibilang susah. Tapi layaknya keluarga lain di Indonesia yang masuk ke strata sosial sebagai golongan menengah, hidup saya kerap dibuat repot terutama oleh masalah finansial. Gaji dari kantor tiap bulan seolah hanya lewat di rekening lantaran begitu masuk langsung terkuras untuk bayar tagihan A, B, dan C. Walaupun kondisi ini nggak pernah bikin saya kurus (padahal i wish) namun kondisi finansial yang pas-pasan bahkan kadang defisit (kalo banyak kondangan) membikin jantung saya mpot-mpotan tiap bulannya. Tak jarang saya harus berakrobat menyiasati kebutuhan hidup yang rasa-rasanya makin hari makin rempong hehehehhee.Derita ini (hehehehe lebay) makin terasa saat malam-malam memandangi wajah dua malaikat kecil saya..kadang saya bertanya bisa nggak ya saya memberikan mereka warisan selain ilmu. sanggup nggak ya saya menyekolahkan mereka sampai ke jenjang yang (minimal) lebih tinggi dari pendidikan ayah dan ibunya yang cuma sarjana. Belum lagi kalau memandang wajah kedua orangtua yang makin menua..rasa bersalah kerap menggedor hati saya, bagaimana tidak. bukannya disenangkan, diberangkatkan ke haji atau dibelikan rumah saya malah merepotkan mereka dengan menitipkan dua anak saya karena saya harus bekerja...hiksss.Kalau sudah begitu saya hanya bisa meneteskan air mata (yang ini serius nggak lebay). sekali lagi, kondisi finansial saya yang segitu-gitunya membuat saya rempong dan harus ekstra berhitung kalau ingin ini dan itu.

Lah kok rempong, memang situ nggak punya gaji kata teman saya.... ohhh jelas punya tapi lo tahu kan gaji gua 10 koma jawab saya. Wah banyak dong kalau 10 koma, kok masih rempong? tanya teman saya keheranan....ya gimana nggak rempong wong yang saya maksud 10 koma adalah tiap tanggal 10 keuangan gua udah koma alias udah habisssss bisss......kata saya sambil mengeluarkan tatapan memelas berharap ada transferan rupiah kakakakakkkkkk.

Elu boros kali tanya teman saya lagi, emang kok saya akui saya boros terutama untuk keperluan anak. Bukan bermaksud gaya-gayaan, saya dan suami memaksakan diri untuk memberikan yang terbaik bagi dua anak kami misalnya dengan membuka asuransi pendidikan untuk mereka yang hampir menguras sepertiga lebih gaji saya. Selain itu kami juga "berinvestasi" dengan membelikan anak-anak buku, ensiklopedia serta berbagai alat untuk merangsang kecerdasan mereka agar kelak saat masuk usia sekolah mereka sudah kenal dengan berbagai benda, huruf, serta angka. Sayangnya dengan semua pengeluaran itu, kami juga masih memiliki pengeluaran lain yang lumayan besar yaitu cicilan rumah yang lagi-lagi menguras gaji kami.

Waduh lalu gimana lo menyiasatinya......pertanyaan itu kemarin-kemarin membuat saya bingung hingga saya akhirnya "nekad" menceburkan diri dalam bisnis MLM. Dihhh apaan tuh MLM, ngapain lo gabung disitu ngenak-ngenakin uplen lo aja dong elu yang kerja banting tulang..uplen lu yang kipas-kipas duit..dan berbagai komentar sinis lainnya keluar dari mulut beberapa teman dekat serta kerabat. Tapi saya yang sudah gelap mata tak mau dengar...yang terbayang di otak saya bagai film layar tancap yang diputar di lapangan tiap 17 agustus adalah wajah dan terutama mata anak-anak saya yang selalu ceria padahal ayah dan ibunya belum tentu bisa memberikan yang terbaik untuk mereka.Nggak tahan dengan bayangan itu, saya maju terus walaupun jujur saya takut karena saya tak tahu  "mahluk" apa sih MLM itu dan gimana cara menghadapinya.

Kenekatan, membuat saya akhirnya menghubungi rekan kuliah saya Anggita Meutia Laxmono alias Anggit yang saya lihat di fesbuk mempromosikan bisnis MLM yang namanya DBCN Oriflame. Kepada dia, saya yang sedang galau memasrahkan kantong saya yang kembang kempis. Lalu apa jawab dia..assikkk ntar lo gua telepon, oh iya lo jadi anaknya Nussy ya (Nussy teman saya juga di kampus-red). Wuaahhh seceria itu ya..kayaknya gampang nih bisnis kata saya berasumsi. Tapi asumsi saya itu benar-benar meleset, karena setelah membaca tautan internet dBCN yang disodorkan Anggit saya keder..apalagi Anggit dan Nussy bilang sama saya gini "lo mesti kerja keras karena di dBCN tak mudah mendapatkan semuanya say".mereka juga menegaskan apa yang sedang mereka usahakan bukan menjual mimpi.

Mendengar ucapan itu lutut saya lemas...dan saya seolah terbangun dari mimpi saya yang sudah berharap mendapatkan uang jutaan serta mobil hiksss, begitu bangun terdengar bunyi gubrak....wadoohhh ternyata saya benar-benar jatuh dari tempat tidur.


Tapi karena sudah nekat, saya tetap daftar dan mentransfer uang Rp 39.900 (mumpung daftarnya murah sapa tahu ntar-ntar naik). setelah itu lagi-lagi saya memaksakan diri saja mengikuti beberapa training online via fesbuk yang diadakan oleh dBCN. Walaupun nggak ngerti saya ikut saja dan komen-komen di beberapa slide atau foto yang diterbitkan oleh pemateri. saking nggak ngertinya saya sama bisnis mlm, dalam training online itu saya kerap menanyakan hal-hal bodoh (soalnya waktu itu staterkit saya belum sampai giliran mo donlot buku sakti alias e-book dBCN yang isinya berbagai tetek bengek cara bisnis efektif oriflame laptop saya ngadat..jadi penderitaan saya waktu itu benar-benar lengkap.
Walhasil saat-saat pertama masuk oriflame benar-benar masa yang kacau.....saya bahkan sempat tak bisa tidur nyenyak selama dua hari lantaran ada berbagai dilema berkecambuk dalam pikiran saya misalnya gini
"busyet emangnya bisa gua jualan?, ya bisa lah kata sebagian diri saya, tapi sebagian diri saya yang lain menolak dan bilang gini "eleeehh elu aja bisa jualan..ngimpi. Lah kalau nggak jualan gimana lagi bisnis kayak gini kan urat nadinya itu ngerekrut orang dan jualan produk kalau elu nggak mau ngelakuin dua hal itu ya jangan masuk lah bentak diri saya yang saat itu kostumnya malaikat.."lagian lo kan udah bayar pendaftaran cin, sayang dunks" kata si malaikat lebay di hati saya kekekekekekek. Udah gitu kalau lo pakai sendiri itu lo mesti ngeluarin duit buanyak..nah elu kan masuk DBCN oriflame juga mo cari duit bukan mo keluar duit begoooo.

wedeeeehhh gimana nih kalau udah kayak gini" ujar saya mulai merasa menyesal daftar ke Anggit.
Anggit bahkan sempat menertawakan saya pas saya bilang saya deg-degan karena harus ikut training untuk pertama kali dengan mbak Novia Rizky.Kata saya waktu itu "syeettt nggit gua deg-degan deh, kalau gini caranya gua mending disuruh wawancara menteri atau bikin sepuluh berita sekaligus deh deh" ujar saya.
Kata Anggit " yaelah training online aja deg-degan say, kerjaan elu tuh yang bikin deg-degan" ujarnya sambil ngekek (padhl saya nggak tau dia ketawa apa nggak itu mah cuma bayangan saya aja)

Tapi rupanya Allah SWT tak tidur melihat saya resah, melalui suami saya yang saya "baru ngeh" suka lihat saya ngadepin netbook tiap malam ikut training.entah ikutan baca materi trainingnya entah kenapa, suami saya yang gondrong sipit dan lucu itu (hehehehehe maklum sapa lagi yg muji kalau bukan saya hahaha) berkata "ya udah bun ikutin aja semua sistemnya, nanti kalau sudah ketemu iramanya juga lo bakalan enjoy...apalagi kalau lo jualan kan itung-itung ngasah mental. Kalaupun lo nanti nggak kuat minimal lo dapat banyak ilmu kan, kata suami saya menenangkan.

Maka dengan sabda kakang prabu...sambil menenteng katalog plus tetek bengek yang ada di dalam staterkit,saya mencoba jualan ke teman-teman terdekat. Ehhh nggak nyangka di hari pertama jadi pedagang sejumlah teman wartawan (yang kata orang agak jauh dari kata dandy dan wangi) memesan minyak wangi dengan uang cash pula (saya emang nggak mau kalau dihutang dulu secara nggak pnya duit buat nalanginnya), nggak lama datang lagi seorang teman yang juga kepala sekolah...tanpa ba..bi..bu dia memesan minyak wangi eclat yang harga diskonnya aja 200 ribu lebih, dan pembersih wajah serta pelembab north dan beberapa teman perempuan lainnya memesan sabun, dan essensial wihhh hari itu saya panen, bonus poin saya yang amatir langsung meloncak 75 poin dan bisa lolos ikut training online dengan ibu diamond doris aminah nasution..alhamdulillah.

Lucky dengan kondisi itu saya makin pede, saya setiap hari sibuk nge-tag produk2 oriflame ke beberapa orang teman. usaha saya membawa hasil, saya dapat satu donlen dan poin saya lengkap 160 alias lebih 10 poin untuk memenuhi syarat consultan level 3%. Yah memang bonus yang saya dapat dari level tersebut masih sangat kecil tapi bagi saya lumayan, saya bisa membelikan anak-anak baju murah meriah, mainan, dan beberapa alat kosmetik yang saya damba-damba dengan gratis secara dengan menjadi member kita dapat diskon 30 persen sehingga ada uang lebih dari pembayaran pembeli saya yang bisa saya manfaatkan.hehehehehhe.

Belajar dari hal itu, saya sekarang lebih tenang menghadapi berbagai hal dan makin pede dengan dan makin sayang dengan oriflame, apalagi suami juga mendukung  bahkan terkadang ia mau menjemput uang orderan dari beberapa teman untuk diberikan ke saya.Kondisi yang mestakung (semesta mendukung) ini membuat saya yakin saya kelak bisa menyamai nenek moyang saya ibu doris aminah nasution dan nenek..nenek..nenek moyang saya yaitu nadia meutia. saya tiap malam sebelum tidur dan tiap pagi sebelum kerja di kantor pertama dan kedua selalu mengucapkan "sayalah berlian (diamond) pertama dari Pandeglang" kota kecil yang kadang kalah pamornya dibandingkan Pantai carita padahal Pantai Carita masuk wilayah Pandeglang.Kalimat itu saya ucapkan berulang-ulang sambil tersenyum dan membayangkan mobil CRV serta uang puluhan juta. Kan kata ibu diamond Doris kita harus mengawali hari dengan positif agar yang datang dan tertarik ke diri kita adalah hal-hal yang positif. Lagipula kata-kata itu saya ucapkan untuk meruntungkan mental block alias penjara mental dalam hati dan otak saya.

Semoga sharing saya ini bisa membuka mata rekan-rekan bahwa apa yang kelihatannya sulit di awal belum tentu seterusnya akan seperti itu, toh selalu ada saat pertama untuk semua hal kan? dan saat pertama bagi siapapun akan terasa ganjil dan sulit karena saat itu kita memaksakan diri keluar dari zona aman dan nyaman (comfort zone) kita. Ngomong-ngomong soal zona aman dan nyaman, ada loh materi trainingnya yang bisa diundung di web dBCN yang berasal dari liputan dari Drg Astriani Karnaningrum ( Qual Gold Director ) yang berkesempatan hadir di acara training motivasi sesi 3, “The Art of Communication in Business” yang diadain oleh Oriflame JOgjakarta, dengan pembicaranya M.Amin, praktisi NLP dari semarang. Acara diadakan tanggal 15 Desember 2010 di ruang togetherness Oriflame Jogja.Dalam training itu dikatakan satu-satunya cara meruntuhkan penjara mental adalah PAKSA DIRI ANDA!!!! KARENA DENGAN MEMAKSA LAMA-LAMA ANDA AKAN BIASA DAN KEMUDIAN BISA (LIHAT DEH KATA BISA SEJATINYA ADALAH KATA BIASA YANG HURUF A-nya tereduksi. Dan program memaksa diri ini sedang saya lakukan terus menerus dengan alasan K.A.R.E.N.A C.I.N.T.A.

Jadi yokk semuanya mengutip kalimat favorit bos besar saya Dahlan Iskan : KERJA..KERJA..KERJA. DAHSYAT!!!