Menyambung
tulisan saya yang pertama, keberuntungan saya sebagai ibu hamil dan seorang
istri makin saya rasakan, lantaran dalam pekerjaan saya banyak menemukan
Nadia-Nadia lain dalam berbagai versi. Salah satunya membuat saya harus kembali
ke masa silam.
Adalah
Ana, Nadia versi lain yang pernah saya temui. Ibu yang baru berusia 34 tahun itu,
bertemu saya di ruang tunggu dokter kandungan langganan saya. Saat itu saya
masih mengandung anak saya yang pertama sekira tahun 2009. Semula saya mengira,
Ana adalah pendatang baru seperti saya dalam hal melahirkan. Tapi ternyata
perkiraan saya meleset. Di usianya yang baru 34 ia sudah 9 kali melahirkan, dan
yang ada di rahimnya saat ini adalah anakknya yang ke-10. Ia mengaku menikah
pada usia belasan lantaran ia tak lulus SD. Setelah menikah suaminya tak mau
ber-KB hingga ia berkali-kali hamil. Ana mengaku dalam hati ia sebetulnya ingin
tak terlalu banyak anak, bukan lantaran sakitnya melahirkan namun karena ia
merasa tak bisa mengasuh seluruh anaknnya dengan fokus.
“Anak
saya nggak ada yang dekat dengan saya, soalnya belum setahun saya sudah hamil
lagi jadi saya belum puas memberikan ia kasih sayang, perhatian saya sudah
harus terbagi dengan adik yang baru saya lahirkan,” katanya dengan bahasa Sunda.
Pantas
saja Ana terlihat riang saat berada di klinik itu, dengan wajah polosnya ia
bertanya pada saya apakah saya setiap bulan memeriksakan kandungan saya ke
klinik itu dan melakukan USG. Saat saya jawab ya, Ana terlihat kagum. Masih
dengan nada riang ia berkata sebentar lagi ia akan merasakan yang saya rasakan
saat periksa ke dokter, karena untuk pertama kalinya, Ana akan merasakan yang
namanya di USG gratis pula lantaran ia bisa datang ke klinik itu atas prakarsa
bidan desa yang kerap memberikan penyuluhan kepadaibu hamil di desanya.
Mendengar jawaban Ana, bibir saya berusaha tersenyum walaupun hati perih.
Saking sedihnya saya sampai pamit untuk mengambil air minum agar dada saya tak
lagi sesak. Saat saya kembali ke ruang tunggu Ana sudah masuk ke ruang periksa
dan saya tak pernah lagi berjumpa dengannya. Dalam obrolan tadi, Ana juga
curhat ke saya kalau ia tetap takut saat melahirkan karena sebetulnya ia tak
pernah siap dengan kehamilannya. Saat saya masuk ke ruangan periksa, dokter
kandungan saya yang sudah saya anggap orangtua, mengatakan kehamilan Ana
berisiko lantaran ia menderita darah rendah, dan frekuensi kehamilan yang
terlalu sering. Mendengar hal itu saya cepat-cepat berdoa dalam hati semoga Ana
melahirkan bayinya dengan selamat.
Kisah
Ana dan sebelumnya Nadia, membuat saya
teringat kembali data lama yang tersimpan dalam netbook saya. Data itu adalah
data kematian ibu hamil di daerah saya yang saya peroleh dari Dinas Kesehatan.
Dalam data itu tertulis angka kematian ibu hamil dan bayi tinggi karena hingga
Oktober 2010 tercatat 33 kasus kematian ibu, 98 kasus kematian neonatal (bayi
berumur 0-28 hari), kematian bayi (29 hari – 12 bulan) sebanyak 32 kasus.
Data-data itu menggambarkan masih belum merdekanya ibu-ibu hamil di daerah
kami. Masih ribuan ibu hamil bernasib seperti Nadia yang hamil dan melahirkan
dalam kondisi tertekan lantaran harus berpisah dengan anak yang baru ia
lahirkan, atau Ana yang hamil lantaran terpaksa. Jangankan bicara tentang
bagaimana merangsang pertumbuhan dan intelegensia bayi sejak dalam kandungan dengan
cara mendengarkan musik klasik atau ikut yoga sebagaimana dilakukan ibu hamil
di kota besar yang berasal dari kalangan berpunya. Ibu hamil dan melahirkan di
daerah kami harus merasa cukup dengan kondisi yang pas-pasan. Ada ribuan yang
belum pernah merasakan USG, bahkan ada belasan ribu lainnya yang melahirkan
hanya dibantu dukun bayi sehingga berisiko mengakibatkan kematiannya atau
bayinya.
Saya
berharap dengan tulisan ini, setidaknya kita-kita ibu yang memiliki dukungan materi
maupun moril yang memadai bahkan berlebih dari keluarga, kerabat, dan teman
bisa mendoakan ibu-ibu seperti Ana dan Nadia. Semoga kelak mereka berdua
merasakan yang kita rasakan. Aminnn (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar