Sabtu, 10 Maret 2012

Catatan Untuk Nadia dan Ana (Bagian Ke-2)



Menyambung tulisan saya yang pertama, keberuntungan saya sebagai ibu hamil dan seorang istri makin saya rasakan, lantaran dalam pekerjaan saya banyak menemukan Nadia-Nadia lain dalam berbagai versi. Salah satunya membuat saya harus kembali ke masa silam.
Adalah Ana, Nadia versi lain yang pernah saya temui. Ibu yang baru berusia 34 tahun itu, bertemu saya di ruang tunggu dokter kandungan langganan saya. Saat itu saya masih mengandung anak saya yang pertama sekira tahun 2009. Semula saya mengira, Ana adalah pendatang baru seperti saya dalam hal melahirkan. Tapi ternyata perkiraan saya meleset. Di usianya yang baru 34 ia sudah 9 kali melahirkan, dan yang ada di rahimnya saat ini adalah anakknya yang ke-10. Ia mengaku menikah pada usia belasan lantaran ia tak lulus SD. Setelah menikah suaminya tak mau ber-KB hingga ia berkali-kali hamil. Ana mengaku dalam hati ia sebetulnya ingin tak terlalu banyak anak, bukan lantaran sakitnya melahirkan namun karena ia merasa tak bisa mengasuh seluruh anaknnya dengan fokus.
“Anak saya nggak ada yang dekat dengan saya, soalnya belum setahun saya sudah hamil lagi jadi saya belum puas memberikan ia kasih sayang, perhatian saya sudah harus terbagi dengan adik yang baru saya lahirkan,” katanya dengan bahasa Sunda.
Pantas saja Ana terlihat riang saat berada di klinik itu, dengan wajah polosnya ia bertanya pada saya apakah saya setiap bulan memeriksakan kandungan saya ke klinik itu dan melakukan USG. Saat saya jawab ya, Ana terlihat kagum. Masih dengan nada riang ia berkata sebentar lagi ia akan merasakan yang saya rasakan saat periksa ke dokter, karena untuk pertama kalinya, Ana akan merasakan yang namanya di USG gratis pula lantaran ia bisa datang ke klinik itu atas prakarsa bidan desa yang kerap memberikan penyuluhan kepadaibu hamil di desanya. Mendengar jawaban Ana, bibir saya berusaha tersenyum walaupun hati perih. Saking sedihnya saya sampai pamit untuk mengambil air minum agar dada saya tak lagi sesak. Saat saya kembali ke ruang tunggu Ana sudah masuk ke ruang periksa dan saya tak pernah lagi berjumpa dengannya. Dalam obrolan tadi, Ana juga curhat ke saya kalau ia tetap takut saat melahirkan karena sebetulnya ia tak pernah siap dengan kehamilannya. Saat saya masuk ke ruangan periksa, dokter kandungan saya yang sudah saya anggap orangtua, mengatakan kehamilan Ana berisiko lantaran ia menderita darah rendah, dan frekuensi kehamilan yang terlalu sering. Mendengar hal itu saya cepat-cepat berdoa dalam hati semoga Ana melahirkan bayinya dengan selamat.
Kisah Ana dan sebelumnya Nadia,  membuat saya teringat kembali data lama yang tersimpan dalam netbook saya. Data itu adalah data kematian ibu hamil di daerah saya yang saya peroleh dari Dinas Kesehatan. Dalam data itu tertulis angka kematian ibu hamil dan bayi tinggi karena hingga Oktober 2010 tercatat 33 kasus kematian ibu, 98 kasus kematian neonatal (bayi berumur 0-28 hari), kematian bayi (29 hari – 12 bulan) sebanyak 32 kasus. Data-data itu menggambarkan masih belum merdekanya ibu-ibu hamil di daerah kami. Masih ribuan ibu hamil bernasib seperti Nadia yang hamil dan melahirkan dalam kondisi tertekan lantaran harus berpisah dengan anak yang baru ia lahirkan, atau Ana yang hamil lantaran terpaksa. Jangankan bicara tentang bagaimana merangsang pertumbuhan dan intelegensia bayi sejak dalam kandungan dengan cara mendengarkan musik klasik atau ikut yoga sebagaimana dilakukan ibu hamil di kota besar yang berasal dari kalangan berpunya. Ibu hamil dan melahirkan di daerah kami harus merasa cukup dengan kondisi yang pas-pasan. Ada ribuan yang belum pernah merasakan USG, bahkan ada belasan ribu lainnya yang melahirkan hanya dibantu dukun bayi sehingga berisiko mengakibatkan kematiannya atau bayinya.
Saya berharap dengan tulisan ini, setidaknya kita-kita ibu yang memiliki dukungan materi maupun moril yang memadai bahkan berlebih dari keluarga, kerabat, dan teman bisa mendoakan ibu-ibu seperti Ana dan Nadia. Semoga kelak mereka berdua merasakan yang kita rasakan. Aminnn (*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar