Belajar Dari Asiyah dan
Suneti
(Kisah bayi-bayi malang dari Pandeglang)
Siang kemarin Rabu (28/3) sungguh hari kelabu bagi saya dan suami.
Bukan karena sudah akhir bulan dan kondisi kantong sedang kempis :p, namun
karena kami lagi-lagi “terpaksa” menahan perih di hati, dan sesak di dada
melihat kondisi masyarakat yang dipaksa hidup dan kekurangan. Hati ini makin
perih lantaran kami berdua merasa tak bisa berbuat apa-apa selain mewartakan
peristiwa tersebut. Kami bagaimanapun tetap manusia yang punya rasa yang bisa
merasa pilu saat melihat kondisi yang menurut kami tak seharusnya terjadi bila
sistem pemerintahan di republik ini berjalan baik, dalam artian semua bagian
dari bagian terkecil hingga terbesar menjalankan tugas dan fungsinya dengan
baik.
Coba kawan semua bayangkan, siang
itu suami saya, sambil masih berkeringat menunjukkan foto seorang bayi yang ia
rekam di kamera saku digitalnya. Dengan hati-hati, ia mulai dengan menunjukkan
wajah si bayi. Serta merta saya yang juga ibu dua anak yang dua-duanya masih
bayi (2 tahun, dan 7 bulan) tentu merasa senang karena bayi dalam foto itu
memiliki wajah yang manis. Rambutnya lebat dan pipinya lumayan montok. Normal
dan masih memiliki aura malaikat lah layaknya bayi-bayi baru lahir lainnya.
Namun kesenangan saya berubah jadi
nestapa saat suami mulai menggeser tombol down di kameranya, saya kaget melihat
bayi itu ternyata tak memiliki tangan dan kaki. Makin kaget ketika suami
berkata dengan pelan bahwa bayi itu juga tak memiliki anus. Tak heran bila
perutnya terlihat menggelembung.
“Kalau dipegang keras, soalnya sejak
lahir pada Selasa (27/3) sekitar pukul 11.00 WIB, bayi itu belum pups soalnya
nggak ada anusnya, ” kata suami saya sambil menambahkan bayi lelaki Asiyah
lahir dengan berat badan 3 kilogram dan panjang 35 centimeter lantaran tak
memiliki kaki.
Bayi yang belum diberi nama itu, menurut suami saya lahir sebagai anak
ketiga dari pasangan Asiyah (32) dan Pasaoran Silalahi yang tinggal di Kampung
Rancaluluk RT 03 RW 02 Desa Perdana Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten. Keluarga kecil itu hidup di rumah semi permanen dengan atap
rumbia. Ukuran rumahnya hanya 4x6 meter dindingnya bilik bambu, dan tanpa kamar
mandi. Hanya ada satu kamar, dapur yang menyambung ke ruang tamu (kalau bisa
disebut begitu karena di ruangan itu ). Lantai rumahnya hanya tanah sehingga
saat hujan suasana lembab langsung tercipta. Tak hanya itu, keluarga itu juga
langganan jadi korban banjir karena letaknya tak jauh dari anak sungai Ciliman.
Kondisi itu diperparah dengan tidak hadirnya si ayah yang terpaksa harus
mengembara ke Riau untuk menjadi buruh kasar di perkebunan sawit walaupun
dengan gaji yang tak seberapa. Makanya ibu si bayi, Asiyah harus berjibaku
mengurus dua anaknya, sekaligus memberi makanan (seadanya) karena ia hanya
seorang buruh tani. Bila beruntung ada yang memberinya pekerjaan, untuk kerja
selama 8 jam, ibu tiga anak itu mendapatkan upah paling banyak Rp 15 ribu. Upah
kecil itu ia dapat setelah berjam-jam terbenam di lumpur sawah untuk
membersihkan rumput di sela-sela padi atau dikenal dengan nyasab. Pekerjaan
berat itu, masih berlanjut lantaran ketika pulang, ia harus mengurus dua
anaknya yang masing-masing berusia 7 tahun dan 5 tahun.
Kerja berat ini, terus menerus ia lakukan hingga usia kandungannya 9
bulan. Asiyah mengaku tak pernah USG bahkan tak tahu apa yang namanya USG. Ia
bahkan jarang memeriksakan kehamilannya lantaran merasa tak ada keluhan selama
hamil. Yang pasti, daripada untuk memeriksakan kandungan ke puskesmas Perdana
yang jaraknya hanya satu kilo, Asiyah mengaku lebih baik uangnya ia pakai untuk
membeli beras yang satu liternya untuk kualitas terburuk sudah mencapai Rp
5.500 per liter. Maklum, setiap masyarakat yang berobat ke Puskesmas dikenai
biaya Rp 4 ribu. Bila ditambah USG, biayanya bisa membengkak menjadi Rp 25
ribu. Uang itu, bagi kita mungkin kecil, bahkan bisa habis hanya untuk satu
kali makan. Tapi bagi Asiyah, uang itu sangatlah banyak karena bisa menyumpal
perut dirinya, dan dua anaknya termasuk si jabang bayi yang ada dalam perutnya
selama beberapa hari karena bisa dipakai untuk membeli 4,5 liter beras. Bayi
tanpa tangan, kaki, dan anus itupun lahir dengan bantuan dukun bayi atau di
daerah kami dikenal dengan paraji, dan seorang bidan desa lantaran setelah
sekian lama ditangani paraji, si bayi tak lahir juga.
Maka bisa disimpulkan, keluarga itu tak hanya hidup kekurangan, tapi
“dipaksa” hidup walaupun dalam kondisi sekarat. Oleh karena itu, bukan hal yang
mencengangkan bila si bayi lahir dalam kondisi tak lengkap alias cacat karena
selama hamil, Asiyah tak bisa mengonsumsi makanan bergizi layaknya ibu-ibu
hamil yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Bagi Asiyah, maka adalah
sarana menyambung hidup dan memberinya energi agar tubuhnya bisa berfungsi demi
mencari sesuap nasi bagi anaknya, bukan kesenangan, apalagi kenikmatan seperti
kita.
Kisah bayi tanpa tangan, kaki, dan anus anak Asiyah mencongkel memori
saya tentang kisah serupa yang saya liput tahun 2007. Kala itu pertengahan
November ketika saya mendapatkan kabar ada bayi asal
Kampung Pasir Asem, Desa Katulisan, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang
Provinsi Banten yang lahir dengan kondisi jantung berada di luar rongga dada.
Jantung itu berada di luar lantaran rongga dada si bayi tak terbentuk dengan
sempurna. Di tengah guyuran hujan bulan November, saya berbincang dengan ayah
si bayi yaitu Surya yang umurnya baru 23 tahun namun raut wajahnya sepuluh
tahun lebih tua. Himpitan kesulitan hidup sejak masih kanak-kanak membuat
lelaki yang bekerja sebagai buruh serabutan itu memanggil saya dengan sebutan
neng. Padahal usia saya kala itu lima tahun lebih tua dari usianya. Ibunda sang
bayi yang juga belum diberi nama itu Suneti, terlihat sangat kelelahan. Bukan
hanya karena usai melahirkan tetapi juga karena kesedihan. Yah...ibu mana yang
tak sedih bila anaknya lahir dalam kondisi seperti itu.
“Kalau bisa dialihkan ke saya sakitnya, saya
siap,” tukas perempuan bertubuh kurus itu lirih.
Mendengar ucapan itu, saya tercekat, tenggorokan
saya seolah disumpal hingga tak bisa berkata-kata. Badan saya lemas karena ikut
merasakan kesedihan Suneti dan Surya walaupun saya saat itu belum menikah. Tak
hanya saya, kawan-kawan wartawan lainnya, terutama yang berasal dari Jakarta
banyak yang mengalami kondisi serupa dengan saya. Bahkan satu kawan dari
tabloid wanita, langsung berlari sambil menangis begitu melihat si bayi. Kawan
itu menangis keras-keras lantaran sebulan sebelumnya baru keguguran setelah
hamil 7 bulan.Walhasil, hampir semingguan lebih saya mengungjungi pasangan itu
hingga akhirnya si bayi dibawa ke Rumah Sakit Harapan Kita. Saat berangkat,
Surya berkali-kali menyalami kami dan menyatakan terimakasih lantaran bila tak
diliput maka anaknya tak mendapatkan bantuan untuk bisa dioperasi di Jakarta.
Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, setelah dirawat selama 12
hari, si bayi yang belum sempat dioperasi akhirnya meninggal dunia.
Kondisi masyarakat yang menyedihkan inilah yang
membuat saya dan suami kerap bersukur dengan kondisi yang kami miliki. Rumah
kreditan kami yang mungil, tentulah terasa bagai istana bagi Asiyah sekeluarga.
USG yang bisa saya lakukan setiap bulan selama hamil anak pertama maupun kedua
tentulah hal yang tak terbayangkan bagi Asiyah atau Suneti. Makanan yang setiap
hari bisa terhidang di meja makan kami juga pasti jadi hal langka bagi Asiyah
dan Suneti. Mengingat hal-hal itu, saya dan suami sepulang kerja sambil
memandangi dua buah hati kami benar-benar merasakan kesyukuran atas apa yang
kami miliki. Kendati tak berlebihan, kami selama ini selalu bisa memenuhi
kebutuhan anak-anak walaupun harus banting tulang. Saya selain liputan juga
menjalankan bisnis mlm Oriflame melalui jaringan dBCN, sedangkan suami selain
liputan menjual jamur crispy (yang jualan orang lain yang kami beri gaji). Saya
yang kerap mengeluh (dalam hati) lantaran harus merelakan sebagian besar waktu
tidur malam saya demi menjalankan bisnis serta menimba ilmu seputar bisnis
saya, tersentil sekali saat melihat Asiyah, dan mengingat Suneti yang tetap
tegar kendati dihimpit kesulitan hidup yang beratnya berkali-kali lipat daripada
yang saya rasakan. Dua perempuan yang
sekolah SD saja tak tamat itu tak pernah mengeluh atau bahkan menghujat dan
menyalahkan siapa-siapa dengan kondisi yang mereka alami. Yang mereka tahu
hanya bekerja dan berusaha sebisa mereka untuk terus mempertahankan hidup
karena hidup sesulit apapun tentulah sangat berharga.(wie)
Caesars Casino and Racetrack – 2021 New Jersey Gambling
BalasHapusCaesars 토토 Resort Casino & Racetrack is the latest casino 출장마사지 in New Jersey to undergo a wooricasinos.info comprehensive poormansguidetocasinogambling safety review. worrione The casino is owned by Caesars