Sabtu, 10 Maret 2012

Catatan Untuk Nadia dan Ana (Bagian Ke-1)

                                                                

**Catatan ini saya buat dari kisah nyata yang saya saksikan, dengan tujuan untuk pembelajaran bagi semua pihak dan terutama keprihatinan bagi bayi mungil tak berdosa yang sebentar lagi akan berpisah dengan ibu kandungnya. Tak ada maksud memojokkan pihak-pihak dalam cerita ini dan tak ada maksud SARA, oleh karena itu beberapa orang namanya sengaja saya samarkan
Catatan Untuk Nadia dan Ana (Bagian Ke-1)
Oleh : Chandra Dewi
“Dari kemalangan orang lain, saya melihat keberuntungan diri sendiri“
Pepatah Buddha yang satu itu langsung terlintas di benak saya begitu saya sampai di rumah Bibi (seorang ibu tetangga saya yang tak perlu saya sebutkan nama aslinya-red) di sebuah kampung yang tak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Pandeglang, Minggu (13/3).
Saya datang ke rumah itu bersama ibu dan anak saya yang baru berusia setahun dua bulan. Di rumah sederhana lantaran dinding batanya masih dibiarkan terbuka atau bata ekpose itu, saya melihat sesosok ibu muda bernama Nadia yang sedang makan siang dengan lauk seadanya. Tak jauh dari tempatnya makan, tertidur seorang bayi lelaki mungil (kalau tak bisa dibilang kecil dan kurus lantaran beratnya hanya 2,1 kilogram) yang baru dilahirkan Nadia kemarin. Saya datang ke rumah itu untuk menjenguk si bayi lantaran sejak selamanan saya sudah mendengar tangisan bayi itu. Sempat saya bertanya dalam hati anak siapa itu, karena di sekitar rumah saya tak ada perempuan yang sedang hamil. Makanya begitu pagi menjelang saya langsung bertanya pada ibu saya, dan menurut ibu bayi itu anak saudara tetangga kami dan baru dilahirkan kemarin. Makanya ibu mengajak saya menengoknya.
Sambil membacakan doa untuk bayi dan ibunya, mata saya tak lepas dari sosok Nadia. Perempuan muda hitam manis dan berambut panjang diekor kuda itu begitu lekat di benak saya lantaran raut wajahnya masih menunjukkan kemudaan usia, sebetulnya ia cantik, alisnya tebal dan giginya putih bersih. Hidungnya juga bangir tapi kain batik lusuh dan kaos oblong yang ia kenakan membuat ia terlihat lebih tua . Sambil sesekali meringis menahan sakit, Nadia mengunyah dengan mata menerawang sambil memangku piringnya yang masih terisi setengah. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas ia terlihat tak fokus menjawab salam saya.
Melihat hal ini, insting pekerjaaan saya timbul, sambil tetap mengawasi anak saya yang sedang aktif-aktifnya, saya menyerap cerita tetangga saya yaitu si bibi. Kata bibi, Nadia bukanlah saudara langsungnya. Nadia hanya keponakan dari menantu si bibi. Orangtua Nadia berasal dari Makasar namun Nadia dibesarkan di ibukota Jakarta. Saat saya bertanya berapa usia Nadia ternyata ia baru saja kelas 2 SMA, yah sekira 17 tahun lah.
Lalu mengana Nadia bisa sampai ke kampung kami, bibi mengatakan itu lantaran orangtua Nadia malu anaknya hamil. Tak jelas betul apakah Nadia sudah menikah secara resmi dengan ayah si bayi yang katanya tinggal tak jauh dari rumah Nadia di Jakarta, yang jelas Nadia datang ke kampung kami atas perintah orangtua untuk melahirkan, dan  kemudian pulang ke Jakarta seolah tak pernah berbadan dua dan melahirkan seorang anak. Masih dari cerita si bibi, bayi lelaki Nadia sebentar lagi akan berpisah dengan ibunya lantaran sudah ada orang yang berminat untuk mengadopsinya. Saya sempat dibisiki ibu saya, bayi Nadia bahkan sudah ditawarkan oleh orangtua Nadia kepada yang mau mengadopsi sejak Nadia mengandung 7 bulan.
“Saya sebetulnya sudah berusaha meminta orangtua Nadia agar membiarkan anak Nadia tetap bersama ibunya. Tapi orangtuanya keras dan tak mau mengakui bayi itu sebagai cucunya,” kata si bibi dengan wajah prihatin.
“Kenapa tak diberikan ke keluarga ayah si bayi bi,” kata saya mengusulkan opsi yang menurut saya paling baik lantaran itu membuat si bayi yang sampai saat ini belum bernama itu supaya tetap dekat dengan ayah kandungnya atau orang yang sedarah. Kata bibi, sebetulnya ayah si bayi dan keluarganya pernah menanyakan kemana perginya Nadia, dan dijawab oleh orangtuanya Nadia pergi ke Makasar sambil meminta agar ayah si bayi tak menemui Nadia lagi. Tak cukup disitu, handphone Nadia pun disita oleh orangtuanya agar gadis muda itu tak berhubungan lagi dengan kekasihnya. Hal itu, menurut bibi dilakukan lantaran Nadia kabarnya sebelum hamil kerap melawan orangtuanya dan tak melaksanakan apa yang diperintahkan dan akhirnya hamil walau masih berstatus pelajar. Oleh karena itu, orangtua Nadia bersikukuh akan tetap memberikan bayi Nadia pada orang yang mau mengadopsi walaupun kabarnya orangtua Nadia adalah orang berpendidikan dan mampu secara materi.
Mendengar kisah Nadia, tenggorokan saya tercekat. Bagaimana tidak, seorang ibu yang baru satu hari melahirkan anaknya dengan bertaruh nyawa sebentar lagi akan berpisah dengan buah hatinya itu. Saya seorang ibu, dan saya pernah melahirkan, makanya saya tahu tak ada seorang ibupun yang bisa berpisah dengan anaknya. Apalagi siang itu saya melihat Nadia (walaupun mungkin dulu adalah ABG yang kelakuannya tak terpuji atau di kaskus.us kerap disapa dengan sebutan ababil alias ABG labil karena melawan orangtua) tiba-tiba sudah bermertamorfosis menjadi ibu. Ia dengan telaten membereskan 12 buah popok milik bayinya yang bisa jadi menjadi selusin-selusinnya popok yang ia miliki. Dari sinar matanya pun, saya tahu ia menyayangi anaknya sepenuh hati walau badannya masih remuk redam setelah melahirkan. Sekadar informasi, saat saya jenguk Nadia sepertinya belum sehat betul karena setelah melahirkan Nadia hanya dirawat selama dua jam di klinik milik seorang bidan di kampung kami lantaran terbatasnya biaya. 
Sambil berjalan pulang dan menggendong anak saya, saya dan ibu saya tak kuasa menahan tangis yang kami tahan sejak berada di rumah bibik. Dengan perasaan berat kami melangkah pulang sambil terus mengelap mata kami yang berair. Di rumah ibu saya berkata, tak seharusnya Nadia berpisah dari anaknya. Walaupun sebejat apapun anak tak berhak ia menanggung nasib seperti Nadia karena bagaimanapun lanjut ibu saya hal itu terjadi lantaran kesalahan orangtuanya juga yang tak mendidik anak sehingga anak terjerumus pada perbuatan dosa. Sambil mengucap istigfar berulang kali, ibu saya berkata belum tentu Nadia akan kembali menjadi anak yang baik bila bayinya dipisahkan dari dia. Bisa jadi Nadia malah tertekan dan masuk lebih dalam ke perbuatan dosa.
“Bagaimanapun bayi kecil itu tak berdosa, ia lahir di dunia karena Allah SWT punya rencana. Kita saja yang tak tahu rencana itu. Makanya daripada dipisahkan dengan ibunya, biarkanlah diurus saja. Siapa tahu anak itulah yang kelak akan membalikkan sifat ibunya yang kurang baik menjadi baik, karena bagaimanapun saat menjadi ibu naluri keibuaan itu akan muncul. Kalau bicara malu pasti semua orangtua malu punya anak hamil duluan, toh bukan orangtua saja yang malu, anak yang melakukan itu pasti juga malu. Tapi sangat tak baik, bila dosa itu akan diperpanjang dengan memisahkan seorang ibu dengan darah dagingnya. Biarlah yang sudah berlalu ya berlalu, tinggal di masa depan jangan lagi diulangi kesalahan itu,” kata ibu saya.
Mendengar itu saya Cuma bisa mengamini, saya tak bisa bicara, lidah saya kelu membayangkan wajah Nadia dan bayinya. Saya merasa dengan kondisi yang dialami Nadia, saya adalah perempuan yang sangat beruntung memiliki keluarga yang kompak mendukung saya dan kehamilan saya, baik saat saya mengandung anak pertama, maupun saat ini ketika saya mengandung anak kedua saya yang baru menginjak bulan keempat. Saya punya ibu yang dengan ikhlas saya titipi anak pertama saya, membuatkan makanan kesukaaan saya saat saya mengalami muntah-muntah hebat di awal kehamilan. saya juga punya bapak yang baik karena dengan cekatan menolong saya menggendong dan menina bobokan anak saya dengan lantunan suling Sunda bila jagoan saya rewel menjelang tidur. Saya juga punya suami hebat yang selalu mengingatkan untuk minum vitamin, mengingatkan jadwal periksa atau mengingatkan agar saya tak terlalu capai saat bekerja dan tak mengeluh kalau pulang kerja saya titip makanan lantaran tak berselera dengan makanan yang ada di rumah. Atau dengan telaten menunggui saya melahirkan walaupun mungkin sebetulnya ia takut darah, bahkan membantu memakai korset beberapa saat setelah saya melahirkan sekaligus mengawal saya sampai ke kamar mandi hanya karena ia khawatir saya pingsan di kamar mandi usai melahirkan.
Saya makin merasa beruntung lantaran saya dan suami walaupun tak berlebih, dianugrahi rejeki yang cukup untuk membiayai kehamilan dan kelahiran saya. Saya bisa kontrol kehamilan sebulan sekali, melihat polah bayi saya melalui USG, dan sesekali memanjakan diri dengan luluran atau santai membaca buku yang saya sukai. Saya bahkan bisa mengakses internet untuk mencari informasi seputar kehamilan dan pengasuhan anak. Bagi Nadia, hal-hal yang saya rasakan itu mungkin saya sebatas impian saja karena sebentar lagi Nadia harus kembali ke Jakarta dan berusaha melupakan wajah anaknya yang saya yakin adalah hal yang mustahil. Entah apa yang ada di fikiran orangtuanya, tetapi bagi saya Nadia hanya korban. Ia hanya anak kecil yang tersesat lantaran orangtuanya mungkin tak memberikan ia rambu-rambu untuk menjalani lika-liku jalan kehidupan yang salah satunya bisa didapat dengan agama. Oleh karena itu, saya berharap, kisah Nadia yang saya tuturkan bisa menjadi pelajaran bagi semua orang. Bagi adik-adik yang seusia Nadia, berfikirlah jutaan kali sebelum melakukan hubungan suami istri sebelum menikah, jangan sampai ada bayi mungil yang tak berdosa yang menjadi korban dan tak bisa mengenal ayah dan bundanya atau mendapatkan kehangatan orangtua hanya karena berada dalam kondisi seperti Nadia. Untuk orangtua, saya berharap kisah ini mengilhami agar kita membesarkan anak dengan cara memberikan teladan lantaran itu bermakna lebih kuat daripada hanya sekadar melarang tanpa memberikan alasan sebagaimana rentetan puisi karya Dorothy Law Nolte yang saya kutip dari internet.
Anak-Anak Belajar Dari Lingkungan Hidupnya
Jika anak biasa hidup dicacat dan dicela,
kelak ia akan terbiasa menyalahkan orang lain.
Jika anak terbiasa hidup dalam permusuhan,
kelak ia akan terbiasa menentang dan melawan.

Jika anak biasa hidup dicekam ketakutan,
kelak ia akan terbiasa merasa resah dan cemas.
Jika anak biasa hidup dikasihani,
kelak ia akan terbiasa meratapi nasibnya sendiri.
Jika anak biasa hidup diolok-olok,
kelak ia akan terbiasa menjadi pemalu.
Jika anak biasa hidup dikelilingi perasaan iri,
kelak ia akan terbiasa merasa bersalah.
Jika anak biasa hidup serba dimengerti dan dipahami,
kelak ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak biasa hidup diberi semangat dan dorongan,
kelak ia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak biasa hidup banyak dipuji,
kelak ia akan terbiasa menghargai.
Jika anak biasa hidup tanpa banyak dipersalahkan,
kelak ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri.
Jika anak biasa hidup mendapatkan pengakuan dari kiri kanan,
kelak ia akan terbiasa menetapkan sasaran langkahnya.
Jika anak biasa hidup jujur,
kelak ia akan terbiasa memilih kebenaran.
Jika anak biasa hidup diperlakukan adil,
kelak ia akan terbiasa dengan keadilan.
Jika anak biasa hidup mengenyam rasa aman,
kelak ia akan terbiasa percaya diri dan mempercayai orang-orang di sekitarnya.
Jika anak biasa hidup di tengah keramahtamahan,
kelak ia akan terbiasa berpendirian : “Sungguh indah dunia ini !”

(Dorothy Law Nolte)
Anak-anak Belajar Dari Apa Yang Mereka Alami
Bila anak hidup dengan kritikan,
Ia belajar untuk mengutuk.
Bila anak hidup dengan permusuhan,
Ia belajar untuk melawan.
Bila anak hidup dengan ejekan,
Ia belajar menjadi pemalu.
Bila anak hidup dengan rasa malu,
Ia belajar untuk merasa bersalah.

Bila anak hidup dengan toleransi,
Ia belajar menjadi sabar.
Bila anak hidup dengan penuh dukungan,
Ia belajar untuk percaya diri.
Bila anak hidup dengan keadilan,
Ia belajar menjadi adil.
Bila anak hidup dengan rasa aman,
Ia belajar untuk mempunyai keyakinan.
Bila anak hidup dengan pengakuan,
Ia belajar untuk menyukai dirinya.
Bila anak hidup dengan kejujuran,
Ia belajar kebenaran.
Bila anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan,
Ia belajar menemukan rasa kasih sayang di dunia.

(Terjemahan dari Dorothy Law Nolte, 1982)

Anak Belajar Dari Perlakuan yang Dialaminya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(Dorothy Law Nolte)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar